Bagaimana Jika Korban Kekerasan Seksual Adalah Pelaku Fitnah?
Gan Khoon Lay, CC BY-SA 3.0, via Wikimedia Commons |
Akhir-akhir ini ada beberapa kasus
berbasis pelecehan seksual yang mencuat di ranah sosial media. Seperti yang
sudah kita ketahui bersama, apapun yang ramai dibicarakan akun sosial media,
pasti akan viral. Berbagai pihak menganggap ini sebagai landasan logis untuk Kembali
memperjuangkan pengesahan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual.
Dahulu pernah menjadi polemik antar partai. Mirip seperti polemik yang
ditimbulkan oleh peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang sempat menuai pro-kontra beberapa hari lalu.
Terlepas dari polemik yang
ditimbulkan, sepertinya sangat lumrah jika peraturan menuai pro dan kontra. Karena
peraturan yang baik adalah peraturan yang lahir dari partisipasi masyarakat
sebagai bentuk permusyarawahan. Jika bermusyawarah tanpa ada pro dan kontra
tentu tidak akan akan menjadi musyawarah yang sehat. Tidak ada kondisi saling
mengimbangi jika semua pro, pun juga jika semuanya kontra pastilah akan menjadi
musyawarah yang tidak memiliki kesimpulan.
Kembali ke sebuah perdebatan dari
kasus kekerasan seksual. Mungkin jika kita menganggap kekerasan seksual adalah
kejahatan pasti semua umat di dunia akan setuju. Tapi masalahnya sangking
asiknya kita mengutuk pelaku hingga kita lupa beberapa kasus yang sampai
sekarang masih belum jelas bagaimana penyelesaiannya.
Katakanlah kasusnya Gofar Hilman
yang dulu sempat mencuat. Hasilnya bagaimana? Semua seakan bungkam. Jika dilihat
kasus ini adalah kasus yang menggunakan sosial media untuk mempublikasikan. Semua
pihak yang berkontroversi memiliki sosial media, alias memiliki medium untuk menyebarkan
perkembangan kasus tersebut. Mulai dari Gofar Hilman sebagai tersangka, pemilik
akun twitter Nyelaras, sampai dari Lembaga yang menaungi seperti SAFEnet dan
LBH APIK Jakarta juga belum melakukan publikasi perkembangan kasus.
Saya sengaja mengangkat kasus ini
sebagai contoh karena kita sepertinya terlalu sering mencari topik baru hingga
lupa untuk mengawal permasalahan lama hingga tuntas. Kita hanya asyik mengikuti
arus konflik yang ditawarkan oleh sosial media. Penyelesaian yang harusnya kita
lakukan malah kita abaikan.
Saya juga tergelitik untuk
membicarakan bagaimana tersangka diperlakukan. Seakan yang mendapat judge
dari salah satu pihak akan selalu salah. Padahal seperti yang kita ketahui,
hukum masih menganut asas praduga tak bersalah. Artinya jika masih dugaan dan
masih belum terbukti di pengadilan, maka masih belum dapat dikatakan bersalah.
Tapi beberapa orang menepis asas tersebut dengan mengatakan “dalam penanganan
hukum harus berpihak pada korban”. Meskipun korban tersebut masih belum dapat
pembuktian.
Hal ini lah yang harusnya menjadi
titik perlindungan dalam undang-undang penghapusan kekerasan seksual. Jika semua
korban dapat dengan mudah mengklaim menjadi korban, dapat dipastikan jika ada
polemik fitnah dengan cara ini dapat dipastikan manjur untuk melumpuhkan
korban. Terlepas dari betul atau tidaknya tuduhan tersebut, pihak yang mendapat
fitnah akan lumpuh seketika dengan cercaan dari korban.
Mungkin hingga sampai saat ini
saya memang masih belum menemui kasus seperti ini, satu-satunya kasus fitnah dengan
kasus perkosaan yang pernah saya temui, hanya di dalam film ayat-ayat cinta. Semoga
saja hal tersebut tidak terjadi dan undang-undang penghapusan kekerasan seksual
tidak disalahgunakan seperti halnya UU ITE. Jika kita cerdas dalam menanggapi
kasus, pasti penyalahgunaan tersebut tidak akan terjadi.
0 comments:
Post a Comment