Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Monday, 8 November 2021

Uang Terimakasih


Infrogmation of New Orleans, CC BY-SA 3.0, via Wikimedia Commons

Kemarin saya melakukan penerbangan dari Manokwari ke Jayapura, tujuan penerbangan ini ke Merauke namun harus menginap semalam di Jayapura. Ini adalah perjalanan menggunakan pesawat kedua kali, setelah perjalanan saya bersama istri ke Manokwari setelah menikah kemarin. Berbagai regulasi silih berganti pada kedua penerbangan tersebut, yang awalnya wajib PCR kini cukup antigen. Karena di Manokwari sini tidak ada PCR. Selain itu ada juga regulasi EHAC yang awalnya menggunakan EHAC kini cukup menggunakan Peduli Lindungi yang katanya aplikasi wajib masuk mall di kota besar.

Ada hal menarik saat tes antigen kemarin di lab yang kebetulan dekat dengan rumah. Karena sudah beberapa bulan tidak melakukan update informasi persyaratan penerbangan, saya tidak mengetahui bahwa tes antigen yang semula 250 ribu turun menjadi 109 ribu. Merasa aneh dengan harga yang ganjil tapi perasaan itu saya tepis jauh-jauh dan memulai tes antigen untuk syarat penerbangan.

Setelah tes tersebut saya menanyakan harga tes dan membayarnya, ada yang lucu disaat membayar. Harga tes yang 109 ribu itu saya bayar 110 ribu, mbak laborannya bilang, “saya tra ada kembalian seribu”. Karena saya ada uang seribu maka saya menanyakan “apa ada dua ribu?”, mbak laborannya bilang lagi “tra ada kaka, seribu, dua ribu pun tra ada”. Saya jawab dengan “yo sudah kasi biar saja”, yang berarti saya mengikhlaskan uang kembalian.

Saya tidak ambil pusing dengan uang kembalian tersebut, dan keesokan harinya saya melanjutkan penerbangan. Setelah sampai hotel, mas resepsionis bilang kalau ada fasilitas transportasi ke bandara hanya membayar enam ribu saja. Lagi-lagi angka ganjil, angka-angka ini asing di telinga saya yang sudah dua tahun di Papua. Karena biasa orang Papua memberi harga pasti kelipatan lima ribu. Untuk hal apapuan kecuali uang parkir. Ojek, penjual buah, penjual makanan, sayuran dan semua hal. Tapi lagi-lagi saya menganggukkan kepala dan tidak menganggap ini hal serius.

Setelah sampai hotel saya pun makan dan berbincang dengan atasan yang sekaligus menjadi satu-satunya teman perjalanan saya untuk empat hari kedepan. Saya menceritakan hal tersebut sekaligus memberikan informasi untuk transportasi keesokan hari ke bandara. Beliau hanya tertawa dan bilang, “itu namanya uang terimakasih mas”. Jadi kita bayar 110 ribu kembaliannya hanya ucapan terimakasih saja. Pun juga sama dengan uang angkutan dari hotel ke bandara.

Resepsionis sengaja memberikan tarif yang ganjil dan terkesan murah dengan isyarat bahwa nanti akan dikenakan uang terimakasih saja. Jika bahasa kita di Jawa biasa menyebut bayar seikhlasnya saja. Namun dipatok minimal enam ribu rupiah. Ternyata ad acara lain untuk negosiasi agar kedua belah pihak bisa sama-sama enak. Ada uang rokok bagi yang mendapat pertolongan, pun juga yang memberikan pertolongan tidak terlalu berkeberatana. Tradisi ketimuran memang terkesan kurang tegas namun memberikan win-win solution bagi kedua pihak yang berkepentingan.

Mungkin bagi kita sang pembayar yang fokus ke angka nominal akan berkeberatan. Saya biasanya meminta kembalian dengan tidak memiliki rasa sungkan. Tapi di sisi lain ini adalah kebiasaan bergotong-royong. Kita mendapatkan fasilitas tapi membayar dengan nominal yang tidak terlalu mahal. Dan ada terselip kalimat terimakasih di sana. Sebagai kesopanan yang penuh makna atas fasilitas yang kita terima, meskipun fasilitasnya memang seharusnya kita terima.

0 comments:

Post a Comment