Berpelesiran 275 Kilometer di Papua
Gunung Botak yang menyatukan gunung dan laut |
Hari kamis kemarin saya mengunjungi teluk bintuni untuk
pertama kalinya bersama istri. Sebelumnya saya tidak pernah berjalan sejauh ini
selama dua tahun di Papua. Perjalanan jauh biasanya ke Sorong hanya perjalanan
dinas saja, itupun via udara. Baru kali ini menempuh ratusan kilometer dengan
menggunakan jalur darat.
Mengingat saya yang mabuk darat ini, menjadi tantangan
tersendiri untuk melakukan perjalanan darat. Naik mobil jauh sedikit pasti
langsung kepala pusing, perut mual dan badan lemas. Saat ini perjalanan darat
saya tempuh untuk melihat betapa luasnya Papua, betapa indahnya Gunung Botak
yang ternyata pantai itu. Pun juga disertai niat untuk menghadiri pesta
pernikahan kawan saya di Teluk Bintuni.
Perjalanan kami mulai dengan menaiki mobil Toyota Hilux
Double Cabin yang dimiliki oleh teman saya. Perkiraan perjalanan akan ditempuh
dalam 7 jam. Perkiraan tersebut tidak akan meleset, karena suami dari teman
saya ini adalah supir Hilux Bintuni-Manokwari. Biasanya orang Bintuni jika ke
Manokwari menggunakan jalur darat, alias dengan menaiki kendaraan Hilux Double
Cabin ini. Mereka biasa carter satu kendaraan, atau bisa hitungan per penumpang
dengan tarif lebih murah tapi jam keberangkatan dari Manokwarinya tak menentu.
Kami berangkat dari manokwari sekitar pukul 8 siang, di belakang
ada tiga orang laki-laki dan di dalam ada 4 orang laki-laki dan perempuan
(termasuk istri saya). Terik mentari pun saya nikmati dengan berbaring sembari
merasakan pusing, meskipun kedua teman yang duduk dibelakang mulai gusar, saya
memilih untuk menikmati sinar mentari siang bolong ini. Tak lupa saya memakai
helm untuk melindungi kepala dari benturan bak double cabin yang agak basah
karena terpal yang menjadi alas.
Hingga tibalah kami di Ransiki, ibukota Kabupaten Manokwari
Selatan. Dari sini kurang lebih sudah 100 Km ditempuh. Menurut Google Map jarak
Manokwari ke Teluk Bintuni sekitar 275 Km. Jadi saat kami tiba di Ransiki masih
ada 175 Km lagi. Kami berhenti sejenak untuk sarapan sekaligus makan siang,
karena jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Ransiki memang sebagai tempat
transit sejenak oleh sopir Hilux, karena daerah ini adalah daerah terakhir yang
terkesan masih kota, selanjutnya arah Bintuni maupun Wasior hanya hutan dan
jalan berkelok saja yang dilewati.
Dari Ransiki kita berjalan sekitar satu jam perjalanan sudah
menemukan keindahan Gunung Botak, foto yang saya sematkan di atas ini adalah
foto Gunung Botak. Yang berupa pemandangan persatuan gunung dan laut. Setidaknya
sudah sekitar 3 tahun belakangan ini Gunung Botak terkenal sebagai wanawisata
yang dimiliki Manokwari Selatan. Kabarnya Manokwari Selatan menggadang-gadang
Gunung Botak ini sebagai sumber Pendapatan Asli Daerahnya, sehingga berani mendirikan
kabupaten sendiri pecah dari Manokwari. Lambat laun juga di sebelahnya ada
Pintu Angin yang juga wanawisata berbasis fotografi.
Setelah berkelak kelok dan naik turun dengan curam di Gunung
Botak mobil berhenti sejenak, karena salah satu penumpangnya hendak
mengeluarkan isi perut. Dan setelah berhenti itulah petualangan dilanjutkan. Sepanjang
jalan setelah persimpangan ke arah Wasior kami diguncang dengan jalanan yang
tak beraspal. Kata sang sopir disinilah yang biasanya saat hujan berlumpur,
sehingga perjalanan ke arah BIntuni yang dapat ditempuh 7 jam saat kemarau,
saat hujan bisa sampai 3 hari terjebak di kubangan lumpur. Namun untungnya di
sana saat kami melintas ada pengerjaan proyek jalan, jadi dapat disimpulkan
kedepannya tidak ada lagi mobil double cabin yang terjebak lumpur.
Setelah melintasi jalan proyek tersebut kami tibalah di
Teluk Bintuni, kota mini penghasil minyak yang kini dikuras LNG. Bagi saya yang
dulu pernah tinggal di Balikpapan, Teluk Bintuni terlampau kecil untuk kota
penghasil minyak. Memang tak dipungkiri ada banyak penginapan yang dijadikan
tempat singgah untuk mereka yang bekerja dilepas pantai. Namun ibarat sapi yang
diperah susunya tapi tak diberikan makanan, sehingga Bintuni menjadi kota yang
kurus tak memiliki gisi sama sekali.
luar biasa mefannya untuk sampai ke bintuni sulit ya, akses jalan jika kemarau bisa 7 jam, jika oenghujan sampai 3 hari belum kalau berlumpur bisa menjebak mobil double cabin
ReplyDeletememang luar biasa, tapi pas saya kesana sudah mulai ada pembangunan jalan. jadi yang biasa menjebak mobil sudah tidak ada.
DeletePapa saya dulu kerja di sana, di salah satu perusahaan LNG. Tapi skr udah pensiun. Dulu 3 Minggu kerja, 3 Minggu cuti. Saya nyesel sbenrnya ga pernah mau diajak ke Papua pas papa masih kerja di sana :(. Maklum, dulu masih belum hobi traveling mas :p.
ReplyDeleteTapi jujurnya memang banyak sih kota2 di mana ada sumber minyak, tapi hasilnya diserahin ke pusat semua, tidak ke daerah tersebut. Sebelum di Bintuni, papa lebih lama kerja di LNG Arun Aceh. Itu jomplang sih antara komplek perumahan karyawannya, dengan masyarakat sekitar. Bagai bumi dan langit. Ya Krn itu, keuntungannya hanya utk perusahaan, karyawan, dan pusat.
wahh... memang kapitalisme kini sudah mulai merasuk di negeri ini, yang diuntungkan hanya perusahaan dan pegawainya saja. bagi warga yang sebenarnya pemilik minyak yang terkandung didalamnya malah tidak ada perkembangan lagi. selain deretan wisma yang biasa hanya sebagai tempat transit sebelum ke site.
Delete