Ketimpangan Vaksin
ilustrasi vaksin (sumber: commons.wikimedia.org) |
Kemarin saya sempat terkejut saat melihat story facebook seorang laboran yang memamerkan kartu vaksin ketiga. Sembari geleng-geleng kepala saya menelusuri vaksin apa yang diinjeksikan hingga tiga kali, dalam kartu vaksin tersebut tertulis Coronavac untuk vaksin dosis pertama dan kedua lantas di dosis ketiga tertulis nama Moderna.
Lantas saya membuka twitter lha kok ada cuitan seorang dokter gigi yang intinya marah-marah dengan
memnyematkan berita bahwa anggota DPR disuntik vaksin dosis tiga. Maklum saja
dia marah, saya yang melihat seorang laboran yang mana adalah seorang tenaga
medis disuntik vaksin dosis tiga saja sudah emosi, apalagi seorang tenaga medis
yang melihat berita bahwa anggota DPR disuntik dan tidak memiliki kepentingan
apapun dalam penanganan pandemi.
Ternyata setelah saya mencoba menulusuri lebih dalam (di beritaonline), vaksin dosis tiga ini digunakan untuk mereka tenaga medis yang didapuk
menempati posisi penting dalam penanganan pandemi ini. Tapi akal saya terus
memberontak terkait ketimpangan vaksin ini. Pasalnya dari target 208 juta
masyarakat yang mendapat vaksin, hingga tulisan ini saya bikin hanya 53 juta
orang yang mendapat vaksin dosis pertama (data diambil dari kawal covid). Jika diasumsikan
ada 73% orang yang mau divaksin, berarti sekitar 100 juta orang masih
kelimpungan mencari vaksin dosis pertama.
Seperti yang sering kita temui di dunia nyata maupun dunia
maya, masih ada saja orang yang bertanya “lokasi vaksin saat ini dimana ya?”. Hal
ini dapat membuktikan bahwa masih ada orang yang belum vaksin pertama dan
berminat untuk divaksin. Kenapa vaksin Moderna itu tidak difungsikan menjadi
vaksin untuk mereka yang jelas-jelas mencari vaksin? Mungkin jika beralasan
bahwa kita masih butuh tenaga medis agar penanganan pandemi ini tidak memakan
korban tenaga medis, saya masih sepakat. Tapi buktinya masih ada saja orang
yang tidak memiliki peran apapun dalam penanganan pandemi namun mendapat vaksin
dosis ketiga. Terlihat sangat timpang sekali bukan?
Saya hanya khawatir mereka yang 100 juta tersebut susah
payah mencari vaksin namun tidak mendapat vaksin dan menjadi malas untuk
divaksin. Alhasil 100 juta orang ini menjadi barisan patah hati yang siap untuk
menggagalkan upaya imunisasi nasional terhadap pandemi. Tentu pemerintah akan
gagal mewujudkan kekebalan kelompok. Lagi-lagi karena salah prioritas.
Karena seperti yang kita ketahui vaksin ini meskipun sudah
menjadi rekomendasi WHO dan para dokter, di depan mata kepala kita masih ada
yang menyangsikan efektivitas vaksin. Bahkan di titik terekstrimnya ada warga
manokwari yang memblokade jalan karena dipaksa vaksin. Kepercayaan terhadap
manjurnya vaksin sangat bisa untuk diperdebatkan, karena relevansinya terhadap masyarakat
di akar rumput juga bisa dikatakan masih belum ada.
0 comments:
Post a Comment