Afganistan dan Talibannya
Taliban dan militernya (sumber: wikicommons) |
Kemarin ramai beredar video orang berlarian di bandara Kabul
tepat disamping pesawat yang akan lepas landas, saat itu saya berdecak kagum “betapa
beraninya mereka”. Tapi saat melihat beberapa berita miris terkait kondisi Afganistan
yang menjadi kalimat pengantar dalam video tersebut, saya langsung mencabut
decak kagum yang sempat saya lontarkan tadi.
Bagi saya yang memiliki cita-cita untuk menjadi pegawai KBRI
Afganistan, ini adalah kabar buruk. Saya harus mengkubur dalam-dalam cita-cita
saya itu. Kini kondisi kestabilan keamanan afganistan mulai memburuk. Sempat saat
sholat Idul Adha kemarin beredar kabar bahwa ada roket meluncur di sekitar
presiden yang sedang beribadah. Ternyata setelah saya cari kabar peristiwa
tersebut, menemukan kabar bahwa yang bertanggung jawab atas peluncuran roket
tersebut bukanlah Taliban melainkan ISIS.
Fakta ini sedikit membuka mata saya lebih lebar, bahwa para kelompok
jihad sama sekali berbeda. Tidak bisa dengan motif sama-sama islam lantas
saling membantu. Buktinya pada sholat idul adha kemarin Taliban enggan untuk
mengakui itu adalah invasi dari mereka. Alhasil ada kesan tidak kompak antar
keduanya.
Mari kita singkirkan sejenak ketidak kompakan antar jihadis
itu, dan beralih pada topik bahwa para jihadis mulai bermunculan karena militer
amerika sudah mulai meninggalkan Afganistan. Semenjak presiden Amerika Joe
Biden mengungkapkan bahwa militer amerika akan ditarik dari sana, maka mulailah
bermunculan pergerakan dari para jihadis tersebut. Awalnya militer Amerika
berada disana untuk membantu Afganistan menjadi negara yang berdaulat, sejak
adanya serangan di Menara WTC oleh Al-Qaeda.
Tapi ternyata proyek training
yang diadakan oleh Amerika tidak merubah apapun, ujung-ujungnya juga tidak
menjadi negara demokrasi liberal. Dari kejadian ini mungkin ada pelajaran yang
dapat diambil, yaitu mau tidak mau sebuah negara harus berada di kakinya
sendiri. Tidak ada bantuan dari negara manapun seharusnya bukanlah masalah. Karena
jika terlena dengan bantuan, ujung-ujungnya tidak akan memiliki kedaulatan
sendiri. Seperti halnya Afganistan. Bantuan militer diambil, malah saudara
terdekat yang mengatasnamakan Taliban menjadi lebih ganas memperebutkan
kekuasaan.
Alhasil dari perebutan tersebut menghasilkan korban yang
lebih banyak. Stabilitas politik menjadi kacau balau. Negara lain bukannya
bersimpati malah mengincar kekayaan negeri. Semoga saja peristiwa ini tidak
menimpa Indonesia, antisipasinya mungkin dapat memupuk rasa persatuan dan
kesatuan dari sekarang. Terlampau banyak ideologi yang bertebaran di social media,
mulai dari ideologi terlampau kiri dan terlampau kanan. Mayoritas mereka
mengesampingkan korban dari ketidak stabilan atas perpecahan. Asal terobos kanan-kiri,
asalkan ideologinya tersampaikan.
0 comments:
Post a Comment