Covid-19, PPKM Darurat, dan Temu Manten
Foto saya dan calon istri |
Semakin hari semakin menjadi angka penambahan kasus covid-19 ini. Peningkatan kasus perhari sudah menjadi puluhan ribu. Sebetulnya saya termasuk yang cuek terhadap angka, berapapun angka penambahan kasus perhari, menurut saya itu sama saja. Bukan sekedar angka, tapi itu manusia yang tertular.
Tapi semenjak adanya aturan PPKM darurat ini, saya
seringkali menilik angka penambahan kasus harian. Karena penambahan jumlah
kasus harian dapat mengubah keputusan pemerintah. Terlebih lagi saya ada
rencana menikah dalam bulan ini. Jika aturan PPKM Darurat Jawa-Bali diperpanjang
otomatis akan berpengaruh pada pesta pernikahan saya.
Memang ini menjadi hal yang cukup unik untuk saya, saat
menikah yang lumrahnya sekali seumur hidup dan diadakan secara ramai, namun
harus dirayakan secara sederhana. Unik karena bukan besar atau kecilnya pesta,
tapi saya sudah dapat berkorban untuk negara dalam penanggulangan pandemi. Saya
dan keluarga rasanya sudah menyiapkan hal ini jauh-jauh hari. Mengingat di kampung,
bapak saya aktif dalam pencegahan dan pengendalian pandemi. Jadi sudah terlihat
adanya tren peningkatan kasus harian.
Dari prediksi tersebut sudah terprediksi bahwa akan ada lockdown, alhasil prediksi tersebut
benar dan terbukti. Jadi kami keluarga mempelai pria sudah siap jika memang
harus dilakukan akad nikah saja. Tapi di pihak mempelai perempuan masih menginkan
adanya “temu”. Yaitu tradisi mempertemukan mempelai wanita dan mempelai pria
dengan adat jawa.
Hal ini lumrah terjadi di adat jawa, untuk simbol pertemuan kedua
mempelai. Tapi kelumrahan itu sepertinya mustahil dilakukan di masa sekarang. Saya
tertarik untuk menyimak bagaimana solusi yang cukup solutif dalam menyelesaikan
pendapat ini, saya penasaran bagaimana win-win
solution yang ditawarkan oleh
semesta.
Terkadang adat akan menarik untuk diaplikasikan sekaligus
menjadi tantangan tersendiri jika ada kendala seperti saat ini. Ibarat pisau
bermata dua, PPKM darurat ini seakan menjadi batu sandungan untuk kami yang
akan melangsungkan pernikahan, pun juga menjadi jalan penolong bagi mereka yang
khawatir pandemi ini akan membunuh insan-insan Indonesia.
PPKM Darurat
Lantas saya mencari-cari celah peraturan yang sekiranya
dapat menjadi dasar hukum jika meminta ijin dengan pihak desa atau RT. Pasalnya
peraturan yang berlaku mulai tgl 5 Juni 2021 ini tidak melarang adanya resepsi
pernikahan, tapi melarang resepsi pernikahan dengan makan di tempat (seperti
resepsi lumrahnya). Jika ingin melaksanakan resepsi wajib dibatasi 30 orang
saja, tapi di desa calon istri saya memberikan syarat maksimal 20 orang saja.
Mungkin peraturan ini dibuat untuk mengantisipasi adanya
gerombolan masa, jadi dipersempit hingga 20 orang. Pun juga acara makan di
tempat resepsi ditiadakan karena jika makan di tempat resepsi otomatis tamu
undangan harus melepas masker. Seperti yang kita ketahui masker adalah senjata
perlindungan agar tidak tertular covid-19. Dan kedua hal ini menurut saya masih
lumrah.
0 comments:
Post a Comment