Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Sunday, 11 July 2021

Covid-19, PPKM Darurat, dan Temu Manten


Foto pasangan
Foto saya dan calon istri

Semakin hari semakin menjadi angka penambahan kasus covid-19 ini. Peningkatan kasus perhari sudah menjadi puluhan ribu. Sebetulnya saya termasuk yang cuek terhadap angka, berapapun angka penambahan kasus perhari, menurut saya itu sama saja. Bukan sekedar angka, tapi itu manusia yang tertular.

Tapi semenjak adanya aturan PPKM darurat ini, saya seringkali menilik angka penambahan kasus harian. Karena penambahan jumlah kasus harian dapat mengubah keputusan pemerintah. Terlebih lagi saya ada rencana menikah dalam bulan ini. Jika aturan PPKM Darurat Jawa-Bali diperpanjang otomatis akan berpengaruh pada pesta pernikahan saya.

Memang ini menjadi hal yang cukup unik untuk saya, saat menikah yang lumrahnya sekali seumur hidup dan diadakan secara ramai, namun harus dirayakan secara sederhana. Unik karena bukan besar atau kecilnya pesta, tapi saya sudah dapat berkorban untuk negara dalam penanggulangan pandemi. Saya dan keluarga rasanya sudah menyiapkan hal ini jauh-jauh hari. Mengingat di kampung, bapak saya aktif dalam pencegahan dan pengendalian pandemi. Jadi sudah terlihat adanya tren peningkatan kasus harian.

Dari prediksi tersebut sudah terprediksi bahwa akan ada lockdown, alhasil prediksi tersebut benar dan terbukti. Jadi kami keluarga mempelai pria sudah siap jika memang harus dilakukan akad nikah saja. Tapi di pihak mempelai perempuan masih menginkan adanya “temu”. Yaitu tradisi mempertemukan mempelai wanita dan mempelai pria dengan adat jawa.

Hal ini lumrah terjadi di adat jawa, untuk simbol pertemuan kedua mempelai. Tapi kelumrahan itu sepertinya mustahil dilakukan di masa sekarang. Saya tertarik untuk menyimak bagaimana solusi yang cukup solutif dalam menyelesaikan pendapat ini, saya penasaran bagaimana win-win solution yang ditawarkan oleh semesta.

Terkadang adat akan menarik untuk diaplikasikan sekaligus menjadi tantangan tersendiri jika ada kendala seperti saat ini. Ibarat pisau bermata dua, PPKM darurat ini seakan menjadi batu sandungan untuk kami yang akan melangsungkan pernikahan, pun juga menjadi jalan penolong bagi mereka yang khawatir pandemi ini akan membunuh insan-insan Indonesia.

PPKM Darurat

Lantas saya mencari-cari celah peraturan yang sekiranya dapat menjadi dasar hukum jika meminta ijin dengan pihak desa atau RT. Pasalnya peraturan yang berlaku mulai tgl 5 Juni 2021 ini tidak melarang adanya resepsi pernikahan, tapi melarang resepsi pernikahan dengan makan di tempat (seperti resepsi lumrahnya). Jika ingin melaksanakan resepsi wajib dibatasi 30 orang saja, tapi di desa calon istri saya memberikan syarat maksimal 20 orang saja.

Mungkin peraturan ini dibuat untuk mengantisipasi adanya gerombolan masa, jadi dipersempit hingga 20 orang. Pun juga acara makan di tempat resepsi ditiadakan karena jika makan di tempat resepsi otomatis tamu undangan harus melepas masker. Seperti yang kita ketahui masker adalah senjata perlindungan agar tidak tertular covid-19. Dan kedua hal ini menurut saya masih lumrah.

Kembali lagi ke niat untuk melakukan “temu” itu tadi. Jika melihat ulang peraturan tersebut tidak ada yang dilanggar dalam prosesi “temu” tadi. Karena temu bisa saja dibatasi 20 orang saja, pun juga sesi “temu” dilakukan di luar ruangan. Nah ini celah aturan yang saya sebutkan tadi, tapi penerimaan aturan oleh pelaksana peraturan tersebut jelas berbeda-beda, beda pemahaman dan juga pasti ada kekhawatiran. Semoga saja sesi temu tersebut tetap dapat dilakukan secara terbatas. Kurang dari 20 orang juga tidak ada masalah, yang penting ada “temu”.

0 comments:

Post a Comment