Kritisi Dulu Kritikmu
(Sumber: Restaurant photo created by pressfoto - www.freepik.com) |
Akhir-akhir ini mulai naik lagi penambahan pasien covid, pemerintah sebelumnya memang sudah mengumumkan bahwa akan ada dampak dari mudik lebaran. Hal itu memang sangat mudah diprediksi, karena lebaran dilarang pulang masih banyak yang ngeyel untuk pulang dan bertemu keluarga. Di opini sebelumnya saya menyebut hal ini karena kurang disiplinnya pemerintah dalam menegakkan aturan. Karena sebelumnya ada pemilu dan pemerintah mengizinkan, kini untuk silaturahmi saja masak tidak diijinkan. Kepercayaan masyarakat kepada regulasi yang dikeluarkan pemerintah sudah sirna begitu saja.
Ketidak percayaan itu berujung peraturan yang tidak diindahkan oleh warga dan berujung kenaikan kasus covid yang drastis. Para pakar kesehatan masyarakat kini sudah menyarankan untuk melakukan jeda sejenak, untuk mendatarkan kasus yang kini sudah memuncak. Tapi sekali lagi tidak ada kepercayaan kepada regulator yang membuat semua susah diatur.
Di jembatan suramadu kemarin contohnya. Kenaikan kasus di bangkalan sudah ndak karu-karuan, setiap yang mau masuk dan keluar dari pulau garam itu harus di swab. Kemarin banyak orang memprotesnya dan berujung tenda tempat swab dirusak sejumlah warga yang jengkel. Tak cukup sampai di sana, selang beberapa hari sejumlah warga Bangkalan melakukan aksi demo ke Surabaya. Mereka memprotes pemkot Surabaya yang menutup akses warga Madura. Mungkin ini adalah antisipasi pemkot agar warganya tidak tertular covid, namun bagaimana lagi banyak warga Madura yang bekerja di Surabaya. Pekerja informal seperti jualan sayur, besi, dan berbagai pekerjaan lain, jika tidak bekerja maka tidak ada yang menanggung kerugian mereka.
Ketegangan antar pihak pun tak dapat dihindarkan. Ditambah juga beberapa orang yang terprovokasi atas ulang JRX yang meyakini covid ini adalah akal-akalan penguasa agar bisa mengontrol warganya. Berbagai macam hal provokatif seperti menganggap artis yang kena covid adalah buzzer yang menerima bayaran, hingga menyudutkan pihak yang melakukan edukasi terhadap covid pun tak luput dari serangan kalimat joroknya. Banyak pihak yang mempercayai hal itu pula, sehingga menjadi kumpulan massa yang siap dialihkan kemana saja dan siap menyerang kapan saja.
Saya menyoroti kejadian hari-hari ini dengan iba, banyak yang kesusahan di kondisi yang disebut pemerintah bencana non alam, masih saja banyak pihak yang menyalurkan energinya untuk saling bermusuhan. Level permusuhan ini sudah satu tingkat di bawah level permusuhan cebong dan kampret saat pilpres kemarin. Hanya satu level di bawahnya. Tapi menjadi parah karena saat ini kita semua sedang dirundung musibah. Saling bermusuhan tanpa melakukan apa-apa sudah termasuk salah besar. Jika ingin mengkritisi terlampau banyak kasus yang sangat menarik untuk dikritik. Mulai dari pelemahan KPK hingga rencana perubahan UU ketentuan umum perpajakan yang jelas-jelas jika telat melakukan kritik akan meluncurkan negeri ini kedalam jurang kemiskinan.
Lain halnya dengan perlawanan terhadap status covid sebagai virus. Jika melakukan perlawanan terus apa goal yang diharapkan? Apa jika perlawanan tersebut dilakukan akan membuat angka kematian menurun dan ekonomi membaik? Tentu tidak. Jika angka kematian disebut hanya sebagai framing atau katakanlah tidak penting, tapi negara sekitar sudah mengakui ini sebagai tolok ukur keberhasilan negara. Ujungnya ekonomi tidak akan pulih jika kita abai dengan virus yang katanya hanya abal-abal ini. Mari cerdas menyampaikan kritik, dengan menimbang tujuan akhir yang ingin dicapai. Agar tidak hanya ikut-ikutan saja seperti kerbau.
0 comments:
Post a Comment