Hasil Review Singkat RUU Ketentuan Umum Perpajakan
Review Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan |
Akhir kepemimpinan Jokowi ini seakan ditandai dengan
berbagai UU yang diundang-undangkan secara besar-besaran. Pembaca mungkin masih
ingat bagaimana serunya tarik ulur tuntutan UU omnibuslaw, UU yang disusun untuk
merevisi sekaligus menambahkan ratusan UU lain ini dianggap sebagai pencapaian
baru. Karena banyaknya UU yang terevisi dengan sekaligus tanpa beberapa kali
rapat yang jelas ada penghematan anggaran. Tapi yang sangat disayangkan yaitu
penetapan yang terkesan teburu-buru, sehingga tidak ada kesempatan untuk publik
-yang menjadi subyek UU- melakukan peninjauan terhadap kebijakan tersebut. Saat
penerbitan UU pun juga menjadi dilema tersendiri, ada yang bilang ratusan
halaman, ada yang bilang ribuan halaman.
Kini rupanya pemerintah juga akan melakukan revisi
besar-besaran dalam hal pajak. Beberapa hari belakangan ini sudah mulai riuh
rendah tuntutan publik atas revisi besar-besaran terhadap rancangan
Undang-undangan ketentuan umum perpajakan. UU KUP ini merupakan dasar aturan perpajakan
dalam negeri, dulu saya saat kuliah pajak semester awal dihajar dengan UU ini. Karena
berbagai hal tentang pajak memang terkandung di KUP ini. Mulai dari deskripsi
pajak, jenis pajak yang dikenakan di Indonesia hingga ketentuan yang merujuk ke
hal teknis mengenai tuntutan pajak. Aturan dasar ini kemudian menjadi landasan hukum
untuk menerbitkan UU perjenis pajak yang dirasa perlu untuk dirumuskan lebih
teknis lagi. Lantas dasar aturan tersebut dibuatkan aturan yang lebih teknis lagi
dalam hal pelaksanaannya oleh pemerintah (dengan PP, Perpres, Peraturan Menteri
keuangan, atau peraturan dirjen pajak).
Aturan semendasar itu terangkat ke publik melalui media
tentu membuat gempar, dari sisi pemerintah pun tidak melakukan publikasi RUU. Sependek
sepemantauan saya hanya Prastowo saja selaku wakil Menteri keuangan yang
melakukan edukasi. Satu lawan banyak, satu prastowo melawan ribuan netizen. Ditambah
aturan yang disoroti media saat awal kemunculan berita RUU tersebut adalah hal
pokok yang dipajaki, yaitu PPN atas sembako dan jasa Pendidikan. Berbagai tambahan
objek pajak diberikan sorotan lebih oleh berbagai pihak. Tak cukup sampai di
sana dalam RUU tersebut juga menyebutkan akan ada penambahan tarif PPN yang
awalnya dihajar 10% kini akan dinaikkan 12%. Semakin menjadi-jadilah tunutan
yang dilontarkan warganet. Peraturan yang saya sebutkan ini bersumber dari RUU
yang dipublikasikan oleh kompas.
Padahal awalnya pemerintah dalam hal ini kementerian
keuangan dalam twitnya menyebutkan akan adanya penambahan cluster PPh. Di sisi
perubahan PPh ini juga memang terlihat sangat mantap. Dulu saat saya kuliah di
pajak hanya ada cluster 5%, 15%, 25% dan 30% hingga batas 500 juta, untuk cara
penghitungannya dilakukan secara progresif. Jadi jika penghasilan sudah
mencapai cluster 30% ke atas akan tetap dikenakan 30%. Lain halnya dengan yang
tercantum dalam RUU ini, ditambahkan satu cluster untuk crazyrich dengan persentase 35% dikenakan untuk nominal 5 milyar ke
atas. Sedangkan cluster 30% hanya
dikenakan untuk range 500 juta hingga
5 milyar. Namun hal ini sama sekali tidak menjadi sorotan media, karena memang
di Indonesia hanya ada segelintir warga yang memiliki penghasilan sebesar itu. Sehingga
sama sekali tidak mewakili keresahan segelintir orang itu. Jika dihitung-hitung
penghasilan yang dikenakan pajak 35% tersebut harus memiliki penghasilan minimal
sebesar 5,8 milyar.
Tapi setelah saya baca dengan seksama ada yang menarik di
RUU yang satu ini, yaitu di akhir peraturan menyebutkan adanya bea cukai untuk plastik.
Yang dalam UU bea cukai sebelumnya yaitu UU no. 39 tahun 2007 hanya disebutkan objek
pajak cukai hanya etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol dan produk
tembakau. Pungutan cukai ini menurut saya adalah sisi keren RUU ini, tanpa
mengurangi kritik terhadap pajak sembako yang sangat layak didiskusikan. Sebaiknya
pasal mengenai pengenaan cukai plastik ini juga didiskusikan secara lebih
serius dikalangan pemerhati lingkungan. Menurut berita yang dirilis tempo cukai
terhadap plastik ini sudah didiskusikan setahun yang lalu. Dalam berita tersebut
menyebutkan rencana tarif terhadap cukai plastik sebesar 30 ribu perkilogram. Mungkin
ini sejalan dengan isu pembangunan berkelanjutan yang dalam Bahasa kerennya
SDGs.
Selain cukai plastik ada pasal yang tepat berada di bawah
pasal yang menyebutkan cukai plastik, yaitu pajak atas karbon. Meskipun saya
agak tidak paham dengan tarifnya -yang memakai satuan karbon dioksida ekuivalen-
saya meyakini ini akan memberi dampak pada ekonomi hijau. Plastik dan karbon
tersebut yang memang seharusnya dipajaki, agar fungsi pajak tidak hanya fokus
pada budgeter tapi juga reguleren yang berarti mengatur. Jika warga yang
mengeluarkan emisi karbon diberikan beban pajak tak dapat dipungkiri besar
kemungkinan warga akan perlahan bergeser ke teknologi yang dirasa ramah lingkungan.
Dalam RUU tersebut dipatok tarif 75 rupiah perkilo karbon dioksida ekuivalen. Dengan
diberlakukan pajak seperti ini niscaya jejak karbon akan lebih terkendali.
Mungkin memang bisa dikatakan pemerintah seakan memerah warga
negara dengan menambahkan pajak dibeberapa sisi kehidupan. Tapi dengan hadirnya
dua pasal yang lagi-lagi saya menyebutnya dengan kalimat keren ini, saya rasa
RUU ini harus diberikan koreksi di sana sini namun juga masih layak untuk
disahkan menjadi UU. Tugas kita hanya mengoreksi yang merugikan unsur kehidupan
dan mendukung yang dirasa sangat menguntungkan kehidupan kita seperti pasal
cukai plastik dan pajak karbon tersebut. karena jika tidak dikawal bisa-bisa niat
pemerintah untuk mengenakan cukai plastik akan putus ditengah jalan, saat nego
dengan DPR. Inilah pentingnya menilik peraturan secara menyeluruh, jadi kita
dapat mengetahui secara keseluruhan keuntungan dan kerugian jika UU ini
disahkan.
0 comments:
Post a Comment