Mengomentari Berita
Kemarin saya barusan mendengar berita bahwa ada sebuah desa
yang memborong mobil, muncul pula berita lagi-lagi sebuah desa warganya
memborong motor. Fenomena aneh ini sempat menyeruak di sosial media, pun juga
dengan berita online yang judulnya pasti bombastis dan sepanjang judul tugas
akhir anak kuliah. Unik nan menarik tentunya, di masa serba susah ini mereka
bisa membeli kendaraan roda dua maupun roda empat. Tentunya jika kementerian
keuangan mau meng-klaim secara sepihak, bahwa ini cerminan keberhasilan
penurunan pajak pertambahan nilai barang mewah sangat sah. Tapi ini tidak
dilakukan instansi tersebut.
Alasannya memang bukan karena hal itu, tapi karena adanya pembelian
lahan sebuah desa oleh BUMN, mungkin untuk tujuan ekspansi usaha. Tapi uniknya
uang hasil pembelian tersebut tidak dibelikan rumah lagi, tapi digunakan untuk
alasan hedon. Sangat mengagumkan memang tradisi kebudayaan kita. Ditengah masa
yang sulit ini, mereka sengaja membelanjakan kendaraan untuk alasan pemulihan
ekonomi nasional yang selama ini digadang-gadang oleh pemerintah. Tanpa diminta
pun mereka bergotong royong mewujudkannya.
Selain berita konvoi mobil dan motor baru tersebut, seminggu
ini juga beredar liburan kita dipotong lagi. Cuti bersama yang semula ada
beberapa hari kini dipotong menjadi hanya dua hari. Mungkin ini untuk
mengurangi arus pergerakan liburan yang biasa dilakukan oleh pegawai negeri
ataupun swasta. Jika liburannya dipotong maka tentu saja pergerakan untuk
berlibur ataupun bersantai akan berkurang. Menjadikan para pegawai lebih
produktif dalam menjalankan hidup. Adapun jika pembaca iri dengan kehidupan
selebriti ataupun para bos besar yang bisa jalan-jalan kesana kemari, masih ada
opsi untuk membolos kerja. Toh pemerintah juga memang menghendaki hal itu, asal
patuh dengan protokol kesehatan.
Berbicara tentang protokol kesehatan juga baru-baru ini
presiden berkunjung ke NTT dan berkumpul dengan warganya. Seakan warga NTT
berkerumun hanya untuk melihat raja yang sedang melakukan inspeksi mendadak ke
daerah. Tentunya para warga antusias dalam menyambut RI 1 tersebut. Para
warganet yang melihat hal itu pun secara serampangan membandingkan dengan imam
besar FPI Habib Riziek Syihab. Tentu sangatlah berbeda, karena saat itu imam
besar FPI dari luar negeri sedangkan Jokowi dari dalam negeri. Kemungkinan menularkan
penyakitnya jelas beda, meskipun sama-sama sudah di tes untuk dapat melakukan
penerbangan. Tapi yang penting presiden itu beda.
Beda Joko Widodo beda pula Joko Chandra. Sama-sama jokonya
kini nasibnya beda. Joko Widodo sudah duduk di istana, lalu Joko Chandra kini
duduk sebagai pesakitan karena korupsi. Berbicara tentang korupsi memang
menjadi pelik ketika KPK juga bertindak lucu. Seakan ingin meladeni asas
keadilan KPK memberikan vaksin covid-19 kepada para tahanan korupsi. Saya rasa
ini memang trik paling jitu dalam menjalankan hukuman korupsi. Mungkin para
warganet tidak menyadari hal ini.
Ada sebuah pendapat yang menyatakan hukuman mati lebih ringan
daripada hukuman seumur hidup. Karena durasi hukuman mati dirasa lebih singkat.
Sehingga sakitnya dirasa lebih singkat dari pada hukuman seumur hidup. Mungkin ini
yang menjadikan KPK memilih untuk memfasilitasi para nara pidana korupsi. Agar mereka
lebih awet hidup dan menjalani hukuman. Bagi kita yang dirugikan oleh koruptor
sama sekali tidak wajib menjalani hukuman, dan lebih baik memang tidak mendapat
prioritas dalam vaksinasi. Kan kita tidak sedang dihukum. Akhir kata memang
sakit lebih lama itu hukuman yang paling setimpal, dari pada mati lebih cepat. Maka
dari itu bersyukurlah bagi yang sampai membaca artikel ini belum mendapat jatah
vaksin.
0 comments:
Post a Comment