Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Friday, 29 January 2021

Jangan-Jangan Kita yang Salah


 Akhir-akhir ini hampir setiap bulan ada berita bencana dari seluruh penjuru negeri. Terlihat sangat ngeri, seakan-akan hari akhir sudah mendekat dengan cepat. Mulai dari pandemi corona yang belum juga usai, gempa di Mamuju, longsor di Sumedang, banjir di Banjarmasin hingga Paniai. Seperti biasanya, saat bencana sudah melanda kita saling menyalahkan. Mulai pemerintah hingga orang yang enggan beribadah turut kita salahkan.

Alasan tuduhan kesalahannya variatif sekali, mulai dari karena pemerintah yang memberikan banyak izin perusakan lingkungan hingga azab tuhan atas kita yang lalai. Hingga berduyun-duyun kita saling tunjuk menunjuk tanpa ada solusi. Jika kita berfikir dan merenung sejenak, apa hal ini benar? Saling menyalahkan dengan dalih mengantisipasi saat bencana sudah melanda merupakan kesalahan yang tidak berujung pada penyelesaian.

Saya malah ingin mengajak para pembaca mengevaluasi tanpa menyalahkan. Evaluasi diri sendiri merupakan opsi yang dirasa cukup cocok untuk menghindari menyalahkan pihak lain. Karena saling menyalahkan tidak akan mendapati solusi, malah akan memperkeruh suasana dengan mencari pembenaran atas pihak yang pernah disalahkan. Evaluasi dapat dilakukan dengan bertanya pada diri sendiri, "apa kita sudah mengantisipasi hal ini?". Mengantisipasi merupakan hal yang mudah tapi sulit dilakukan. Contohnya berdonasi pada proyek penghijauan. Ini adalah antisipasi paling mudah. Kita hanya menyisihkan sedikit uang untuk berdonasi. Tanpa perlu melakukan apapun juga. Terlihat mudah memang, tapi sangat sulit. Karena kita masih belum paham betul risikonya apa. Jadi untuk mengantisipasi sangat lah sulit. Pasti kita berpikiran daripada berdonasi untuk proyek hijau, lebih baik untuk berdonasi kepada kaum papa atau tempat ibadah. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan para pembaca yang suka berdonasi seperti itu. Tapi jika kita tarik pada risikonya, apa kita siap jika tidak ada yang melihat proyek hijau sebagai sesuatu yang seksi? Sehingga sedikit sekali organisasi yang bergerak disana hanya karena faktor kekurangan dana.

Kalau saya sendiri tidak siap dengan hal ini. Karena jika tidak ada seorangpun yang tergerak ke arah sana, pasti bernafas pun akan susah. Karena hutan-hutan sudah dibabat habis. Tidak ada yang melakukan advokasi lingkungan. Pemerintah yang biasa kita jadikan kambing hitam pasti akan semakin sewenang-wenang. Lah kan tidak ada yang melakukan advokasi. Maka hal itu terasa lumrah. Jangka panjangnya kita bisa kehabisan nafas. Bisa sih bernafas, tapi agak tersengal-sengal karena kualitas udaranya yang buruk. Ini masih dalam hal mutualisme antara kita dan pohon. Belum lagi adanya efek cuaca yang sangat anomali. Waktunya hujan bisa terus-terusan lantas banjir.

Kita sudah sangat salah di depan filosofi tabur-tuai "siapa yang menabur, maka dia yang akan menuai". Kita tidak pernah menanam pohon sekalipun, tapi tetap bernafas. Kan itu berarti curang. Kita sudah mencurangi alam semesta. Seperti halnya kita punya sumur tapi hanya bisa menyedot saja, tanpa mau menyiram tanah/tanaman di sekitar sumur tersebut. Otomatis tiba-tiba sumur akan mengering tanah akan tandus di musim panas. Maka dari itu, kita jangan curang. Bisa-bisa di musim bencana ini merupakan hasil dari kecurangan kita. Sejenis kecurangan penambang batu bara yang taunya hanya mengeruk tanpa menutup timbunannya.

0 comments:

Post a Comment