Dicovidkan atau Covid Sendirian
Banyak tokoh yang sudah terkena covid tapi masih banyak pula
yang tidak percaya dengan covid. Masih ada beberapa teman yang termakan kalimat
di-covidkan. Hari ini saat saya tulis artikel ini ada ulama bernama Syekh Ali Jaber
yang meninggal. Beberapa hari sebelumnya saya diperlihatkan oleh abah share info dari grup bapak-bapak
mengenai syekh ali. Video berdurasi beberapa detik tersebut merekam kondisi
syekh terkini. Awalnya divonis covid lantas beredar video beliau memakai alat
bantu pernafasan di hidung dan mulut. Pada waktu memberitahukan video tersebut
abah tanya, “ini siapa?”. Pada saat itu saya menjawab dengan memberitahukan
kasus penusukan yang dialami oleh syekh. Barulah beliau paham sembari
mengangguk dan berkata “oh yang itu”.
Di dunia keislaman sebetulnya sudah banyak ustad yang
terjangkit covid. Ustad Yusuf Mansur yang akhir-akhir ini terkenal dengan paham
Mansurmologi dalam investasi saham kemarin baru terkena. Aa’ gym yang getol
menyuarakan covid saat awal tahun kemarin juga kena. Serta beberapa ulama’ di
daerah saya (Kepanjen) juga tertular covid entah darimana. Memang fakta covid
saat ini masih ada yang percaya adapula yang tidak. Hal ini terjadi tidak hanya
di Indonesia, beberapa hari kemarin saya melihat ada video lewat di beranda
twitter. Di Amerika Serikat ada beberapa orang yang menamakan dirinya anti
masker sedang berjalan di mal tanpa masker sambal bernyanyi. Seakan mereka akan
popular dengan keyakinannya sehingga mereka layak mempromosikan.
Lain halnya di Kepanjen, saya yang terbiasa disiplin dalam
menerapkan protokol kesehatan di Manokwari, saat pulang ke Kepanjen terkejut
melihat situasi dan kondisi sholat jumat di sebuah masjid besar yang ada di
sana. Saya melihat tidak lebih dari separuh jamaan menggunakan masker saat
sholat jumat. Jaga jarak merupakan kemustahilan di masjid itu, tanpa ada rambu
yang jelas untuk menjaga jarak. Sehingga sekeras apapun kita berusaha untuk
menjaga jarak, orang pasti akan tiba-tiba masuk di sela-sela yang kita harapkan
untuk menjadi jarak. Sekacau itu memang keengganan kita untuk menerapkan protokol
kesehatan dalam beribadah.
Maka bisa dikatakan sangat jarang kita mempercayai sesuatu
yang masih baru dengan cepat dan tepat. Kita dalam kalimat tersebut tidak
berhenti pada negara Indonesia tercinta saja, bahkan di negara maju seperti
amerika serikat masih ada yang gagal paham mengenai virus satu ini. Muncul
berbagai teori konspirasi seperti yang ditulis pak dahlan dalam harian disway-nya. Akhir saya ingin mengatakan memang tidak ada yang benar-benar benar
dalam kasus ini. Antara tenaga medis dan pencetus teori konspirasi yang ada
microcipnya sama-sama bisa saja diragukan kebenarannya. Tapi jika sudah banyak
yang meninggal lantas kita mau mengakui kebenaran yang mana?
Jika saya boleh mengusulkan sebaiknya kita mengakui
kebenaran yang tidak merugikan orang lain. Sudah banyak yang meninggal, memang
tuhan akan sangat adil dalam memberi jatah umur. Tapi jika ada seseorang yang
meninggal dari kesalahan keputusan kita dalam meyakini sesuatu, bukankah kita
akan dihantui kesalahan selama kita masih mengingat hal itu. Dalam masa pandemi
ini pasti pembaca tidak menginginkan menabung memori buruk kan, pandemi sudah
sangat berat maka marilah kita serdas dalam menyikapi sebuah tragedi. Agar pasca
pandemi kita tidak menanggung kesedihan ataupun kesalahan.
0 comments:
Post a Comment