Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Thursday, 14 January 2021

Dicovidkan atau Covid Sendirian


 


Banyak tokoh yang sudah terkena covid tapi masih banyak pula yang tidak percaya dengan covid. Masih ada beberapa teman yang termakan kalimat di-covidkan. Hari ini saat saya tulis artikel ini ada ulama bernama Syekh Ali Jaber yang meninggal. Beberapa hari sebelumnya saya diperlihatkan oleh abah share info dari grup bapak-bapak mengenai syekh ali. Video berdurasi beberapa detik tersebut merekam kondisi syekh terkini. Awalnya divonis covid lantas beredar video beliau memakai alat bantu pernafasan di hidung dan mulut. Pada waktu memberitahukan video tersebut abah tanya, “ini siapa?”. Pada saat itu saya menjawab dengan memberitahukan kasus penusukan yang dialami oleh syekh. Barulah beliau paham sembari mengangguk dan berkata “oh yang itu”.

Di dunia keislaman sebetulnya sudah banyak ustad yang terjangkit covid. Ustad Yusuf Mansur yang akhir-akhir ini terkenal dengan paham Mansurmologi dalam investasi saham kemarin baru terkena. Aa’ gym yang getol menyuarakan covid saat awal tahun kemarin juga kena. Serta beberapa ulama’ di daerah saya (Kepanjen) juga tertular covid entah darimana. Memang fakta covid saat ini masih ada yang percaya adapula yang tidak. Hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia, beberapa hari kemarin saya melihat ada video lewat di beranda twitter. Di Amerika Serikat ada beberapa orang yang menamakan dirinya anti masker sedang berjalan di mal tanpa masker sambal bernyanyi. Seakan mereka akan popular dengan keyakinannya sehingga mereka layak mempromosikan.

Lain halnya di Kepanjen, saya yang terbiasa disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan di Manokwari, saat pulang ke Kepanjen terkejut melihat situasi dan kondisi sholat jumat di sebuah masjid besar yang ada di sana. Saya melihat tidak lebih dari separuh jamaan menggunakan masker saat sholat jumat. Jaga jarak merupakan kemustahilan di masjid itu, tanpa ada rambu yang jelas untuk menjaga jarak. Sehingga sekeras apapun kita berusaha untuk menjaga jarak, orang pasti akan tiba-tiba masuk di sela-sela yang kita harapkan untuk menjadi jarak. Sekacau itu memang keengganan kita untuk menerapkan protokol kesehatan dalam beribadah.

Maka bisa dikatakan sangat jarang kita mempercayai sesuatu yang masih baru dengan cepat dan tepat. Kita dalam kalimat tersebut tidak berhenti pada negara Indonesia tercinta saja, bahkan di negara maju seperti amerika serikat masih ada yang gagal paham mengenai virus satu ini. Muncul berbagai teori konspirasi seperti yang ditulis pak dahlan dalam harian disway-nya. Akhir saya ingin mengatakan memang tidak ada yang benar-benar benar dalam kasus ini. Antara tenaga medis dan pencetus teori konspirasi yang ada microcipnya sama-sama bisa saja diragukan kebenarannya. Tapi jika sudah banyak yang meninggal lantas kita mau mengakui kebenaran yang mana?

Jika saya boleh mengusulkan sebaiknya kita mengakui kebenaran yang tidak merugikan orang lain. Sudah banyak yang meninggal, memang tuhan akan sangat adil dalam memberi jatah umur. Tapi jika ada seseorang yang meninggal dari kesalahan keputusan kita dalam meyakini sesuatu, bukankah kita akan dihantui kesalahan selama kita masih mengingat hal itu. Dalam masa pandemi ini pasti pembaca tidak menginginkan menabung memori buruk kan, pandemi sudah sangat berat maka marilah kita serdas dalam menyikapi sebuah tragedi. Agar pasca pandemi kita tidak menanggung kesedihan ataupun kesalahan.

0 comments:

Post a Comment