Ketika Anak Emas Disuruh Mencuci
Listrik atau Lampu yang mati? |
Jakarta blackout, semenjak beberapa hari setelah gempa di Banten, Jakarta dan sebagian daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah mengalami lampu mati. Tentu peristiwa yang biasa dialami masyarakat luar jawa ini menjadi sangat bombastis. Bukan karena lampu matinya tapi karena di Jakarta.
Mungkin kalau lampu matinya di Sangatta sana menjadi hal yang biasa. Salah satunya yang membuat ini mencuat ke permukaan karena segala peralatan di ibukota tersebut sebagian besar menggunakan listrik. Mulai dari alat masak, alat produksi, sampai alat transportasi menggunakan listrik. Bila listrik mati mungkin sebagian kehidupan kota metropolitan tersebut juga ikut mati.
Saya yakin lampu mati yang disebabkan adanya kendala teknis di SUTET Ungaran dan Pemalang tersebut efeknya tidak se-bombastis di Manokwari. Sinyal HP saya yakin di sana masih 4G. Lain halnya di Manokwari saat mati listrik karena defisit daya di Maripi, sampai sinyal HP anjlok ke 3G tapi kualitas 2G. Iya, tulisannya di HP 3G tapi internet sama sekali tidak dapat dipakai.
Tapi ya taulah ya, Jakarta adalah ibukota dan Jawa adalah "anak emas"-nya indonesia. Jadi ibarat kata Bawang Merah yang di suruh nyuci satu baju sudah sambat. Tapi Bawang Putih tetap mencuci tumpukan baju satu keranjang dengan riang gembira. Jadi ya bisa dimaklumi lah ya, kalau mereka mati listrik selama 6 jam saja sudah merasa WOW sedangkan masyarakat luar jawa merasa halah biasa.
Perasaan seperti inilah yang membuat Jakarta tidak menjadi kota seribu jenset seperti Samarinda. Sehingga lampu mati pun sama sekali luput dari prediksi mereka. Sampai muncul berbagai hal yang membuat geleng-geleng kepala, seperti mereka yang tidak punya genset memilih pindah hidup di hotel, nikahan yang full tanpa memakai listrik, dan tingkah pola lainnya. Memang susah rasanya jika terlalu enak hidupnya, sampai-sampai untuk kondisi terburuk mereka tidak siap.
Konflik hukum pun menjadi buntut panjang. Mulai dari tuntutan ganti rugi ke PLN sampai memnuntut stakeholder untuk memberikan ganti-rugi. Sekali lagi saya membandingkan Jakarta dengan kota-kota yang byar-pet-byar-pet. Terlebih di Manokwari sini, yang petugas listriknya sangat labil. Ibarat kata petugas ini suka mainan listrik. Setelah mati dihidupkan lagi, lalu dimatikan lagi, lalu hidup lagi. Kulkas banyak yang terbakar, AC banyak yang rusak tapi ya gak ada yang nuntut ganti rugi.
Lain halnya dengan warga jekadah yang tradisi lu guenya sampai ke Kulonprogo tersebut. Mati tanpa ada yang TV rusak saja mereka menuntut kerugian. PLN pun mengamini ganti rugi tersebut dengan memangkas 35% tagihan listrik. Hanya kalimat "hadeeeehh" saja yang dapat mewakili hal ini.
Terlepas dari kelakuan warga ibukota indonesia dan juga perilaku penyedia listrik tersebut. Sudah pantaskah warga indonesia non pulau Jawa dan non Jakarta menuntut untuk merdeka? Merdeka secara keseluruhan seperti Jawa dan Jakarta. Bukan lepas dari indonesia tapi minimal diangkat dari status anak tiri menjadi anak kandung. Apa yang berlaku di Jawa juga berlaku di daerah lain. SEMOGA SAJA MENJADI AMIN YANG TERKABUL OLEH PEMERINTAH.
Saya juga kaget kenapa pemerintah memberi ganti rugi buat warga jakarta, ketimpangan seperti ini mungkin juga menambah alasan sodara sodara yang dianak tirikan pemerintah untuk melakukan referendum. Pak pres juga harus lebih ketat menyamaratakan pembangunan. Menurut saya sih begitu gan..
ReplyDeleteSetujuuu. Harusnya presiden menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Delete