Catatan Harian Selama Kerusuhan di Manokwari (3)
Senin, 26 Agustus 2019
Dikarenakan kondisi dirasa sudah sangat stabil sayapun hari ini berangkat ke kantor. Tetap dengan sandal jepit. Karena dikhawatirkan bila sewaktu-waktu ada kondisi "luar biasa" saya akan sangat mudah melakukan penyamaran.Pagi itu berangkatlah saya ke kantor. Seperti biasanya berjalan kaki. Namun gerbang depan masih tutup sehingga saya harus berjalan memutar lewat LPMP. Dari ruangan bertemulah saya dengan Pak Ubas. Dan ternyata masih ada pekerjaan yang beliau kerjakan. Maka saya ikut asyik mengerjakan pekerjaan yang beliau kerjakan juga. Meskipun kantor sepi saya tetap bekerja sembari bermain wifi. Karena hari itu semua wifi telkom sudah non aktif. Entah bagaimana ceritanya wifi kampus masih tetap aktif.
Selasa, 27 Agustus 2019
Karena hari sebelumnya keadaan sudah sangat normal, hari ini saya pergi ke kantor menggunakan baju formal lengkap dengan sepatu. Pasti hari ini kondisi kantor sudah mulai ramai. Semua pegawai sudah mulai mengerjakan pekerjaan kantor. Daripada saya malu sendiri lebih baik berperilaku sebagai orang kantoran seperti biasanya saja.Sampai kantor prediksi saya tepat dan tidak meleset. Pagi itu rektorat sudah mulai ramai. Namun tidak pada siang harinya. Para staf rektorat melancarkan aksi demo dan berorasi di depan rektorat. Seluruh staf yang pegawai negeri ataupun tidak ikut menyaksikan demonstrasi tersebut. Namun karena yang demo adalah staf rektorat alias teman sendiri, beberapa staf yang masih mempunyai banyak tanggungan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya.
Sore harinya dilakukan pemalangan di rektorat dan fakultas. Sepertinya semakin sore akan semakin sadis, karena para karyawan berorasi tanpa speaker. Sang orator berteriak-teriak. Terlebih lagi mulai ada beberapa mahasiswa yang ikut berkumpul. Saat semakin panas saya memilih untuk pulang.
Rabu, 28 Agustus 2019
Pagi ini seperti biasanya saya berangkat sangat pagi. Di pintu masuk sudah terpampang jelas baliho berukuran 3 x 4 meter bertuliskan 7 tuntutan staf rektorat. Sepertinya tuntutan ini di print oleh staf rektorat. Dipasang di beberapa titik yaitu depan gerbang rektorat, gerbang UKM, dan di depan rektorat.Pagi itu saya berangkat dengan Kristin, sengaja berangkat pagi hari karena hari ini saya ingin ikut ke KanWil Kemenkeu. Kristin memutuskan untuk bermain wifi di kantor saja. Maka saya pun berangkat ke KPPN bersama pak Ubas.
Singkat cerita setelah dari KPPN di depan polsek Amban kami bertemu dengan sekelompok mahasiswa berdemo. Rupanya mereka menuntut sama dengan tuntutan para staf.
Saat sampai di depan rektorat sudah ada seorang -yang akhirnya kami tahu bahwa dekan fakultas sastra- yang marah dengan membawa parang. Di sana juga ada rektor yang hanya termenung melihat dekan sastra tersebut marah.
Ternyata sebelumnya ia memang dipukul oleh salah satu pendemo dari staf rektorat. Alasan pemukulan tersebut karena pak Dekan nekat membuka palang yang dibuat staf rektorat. Lalu setelah pemukulan tersebut Dekan rupanya tidak terima dan memanggil mahasiswa untuk membantu menyerang para pendemo.
Pemukulan tersebut berujung chaos di sekitar rektorat. Si Kristin juga tertahan di ruangan kepegawaian. Sempat khawatir dengan dia, karena memang berangkatnya bersama dengan saya. Lalu dia tertahan di dalam. Tapi mau tidak mau saya harus menyelamatkan diri dahulu. Lalu saya, mas husen, dan teh yulia turun ke UPT Komputer. Selang beberapa saat Juan, Ical, dan bang Ronaldo datang ke UPT. Entah karena memang mendengar kabar atau sedang kebetulan saja.
Selang beberapa menit ada mobil polsek Amban yang naik ke atas. Pikir kami mungkin ini akan menjadi pendamai bagi kedua kubu yang berseteru. Tapi tak disangka beberapa menit setelah mobil naik ke atas malah mereka putar balik kembali. Entah apa yang terjadi oleh pak polisi tersebut.
Beberapa menit kemudian situasi sudah cukup kondusif, Kristin sudah bisa keluar dan kami pun pulang dengan selamat. Tak dapat dipungkiri, saya pun trauma melihat bentrok tersebut. Pak Dekan dengan parangnya, mahasiswa dengan linggis, kapak, dan berbagai senjata yang membahayakan lainnya. Berkejar-kejaran dengan staf rektorat yang tidak membawa apa-apa. Mungkin ini tragedi saling pukul yang sempat saya lihat langsung dengan mata kepala sendiri.
Sore harinya saat berkumpul di rumah Mas Ade kami mendengar kabar bahwa rumah pak Rektor dan Mahasiswa di serang. Entah siapa penyerangnya, beritanya masih sangat sumir. Kejadian ini sukses menambah trauma yang mendalam bagi saya. Pun juga sukses menambah masa non-aktif kampus. Sudah sekitar dua minggu para mahasiswa yang sebelumnya membayar SPP tidak berkuliah. Para dosen pun juga mengeluh terkait jadwal mengajar mereka yang molor tak karuan. Hari panjang ini saya akhiri dengan ikut bermain bola sodok bersama Juan dan rekan satu kosnya. Ini adalah pertama kalinya saya bermain. Dan sepertinya ini juga sekaligus permainan bola sodok terakhir saya.
Kamis, 29 Agustus 2019
Sepertinya kampus masih tidak kondusif, dimana-mana masih ada palang dan dijaga pula. Bila saja tidak dijaga, saya pun masih bisa dan berani masuk. Meskipun ada risiko besar, saya tetap bisa merasa aman jika masuk di ruangan kantor. Toh jika saya tidak menampakkan diri saat ada kerusuhan di bawah, saya tetap aman.Karenanya saya memilih untuk menghabiskan waktu ke kosan mbak Naimah. Seperti biasa, saya ke kosannya untuk sekedar makan ngopi dan berbincang dengan suaminya. Entah mengapa saya lebih nyambung ngobrol dengan suaminya, meskipun saya merupakan teman mbak Naimah. Tapi lebih nyambung jika ngobrol dengan suaminya.
Di tengah asyiknya perbincangan mbak Naimah memberikan kabar kalau pak Satrio (CPNS Dosen pertanian) akan kesini. Untuk menyerahkan berkas gaji Kepegawaian. Mbak Naimah meskipun libur masih banyak pekerjaan yang ia kerjakan di rumah. Contohnya ya pengumpulan berkas CPNS ini. Ia juga cerita bahwa Fajar dan Pak Lion juga menyerahkan ke rumahnya, baru saja ia tahu bahwa mereka berdua menyerahkan berkas ke rumahnya karena rekomendasi saya. Dengan kata lain mbak Naimah bekerja di rumah karena ulah saya.
Jumat, 30 Oktober 2019
Hari ini saya niatkan untuk ke kampus, bukan untuk mengantor tapi hanya untuk melihat situasi kondisi terkini sekaligus untuk mencari sinyal wifi. Karena sudah beberapa hari saya tidak mendapat akses internet. Di sisi lain ada suaminya mbak Naimah yang mengajak bermain ke kampus. Jadilah saya berangkat ke kampus dengan mereka berdua.Pertama kali masuk kampus situasi sangatlah mencekam. Pagi itu palang ada di mana-mana, di samping MIPA pun dipalang semua. Entah dengan batu atau dengan batang pohon. Sampailah saya di UPT Komputer. Di sana sudah ada mbak Naimah dan suaminya. Saya pun mengajak dua sejoli tersebut ke atas. Bukan tanpa alasan, tapi saya mau menaruh berkas keuangan yang saya bawa dan sekalian mengambil berkas formulir pembukaan rekening Bank Mandiri.
Sebelumnya saya meminta tolong pak Ronaldo (CPNS di UPT Komputer) yang istrinya pegawai Bank Mandiri untuk membantu pembukaan rekening secara akumulatif. Berujung diberilah formulir aplikasi pembukaan rekening tersebut dan bisa diisi di kantor lalu diberikan ke beliau kembali. Sayangnya saat kerusuhan semua formulir sudah terkumpul tapi masih tertinggal di laci ruangan.
Singkat kata formulir berhasil diambil dan berkas keuangan yang terbawa oleh saya sudah ditaruh kembali. Di kepegawaian pun masih sepi dan kami bertiga memilih untuk turun lagi ke UPT Komputer. Di sisi lain entah listrik kantor memang mati atau ada yang dengan sengaja menurunkan limit. Jadi listrik AC masih berfungsi sedangkan listrik komputer, wifi dan printer mati semua. Maka dari itu wifi di keuangan juga mati, sehingga sinyal full tapi tidak dapat terkoneksi.
Setelah beberapa saat berinternetan di UPT, saya pun sangat mengantuk. Saya memilih untuk pulang dahulu dan meminta tolong diantarkan oleh suami Mbak Naimah (namanya Ai). Setelah itu saya pun tidur pulas di kos tercinta. Saat pulang tadi juga saya melihat Jaya (CPNS lab Teknik) dan Husen (CPNS dosen Sastra) di MIPA. Mungkin mereka juga bermain wifi dan mencari akses internet.
Saat sore harinya saya mendengar kabar bahwa di kampus ada pengusiran oleh mahasiswa. Kata Ai, dia di usir sampai di tendang namun memang tidak keras. Jaya dan mas Husen juga di usir. Untung hari itu saya sudah pulang. Jadi tidak sampai mengalami pengusiran. Mungkin jika dipikir-pikir pengusiran biasa tidak akan menerima perlakuan kasar, tapi kalau melihat orang ditendang sepertinya lain lagi.
0 comments:
Post a Comment