Setitik Nila yang Hampir Rusak (4)
Ini cerita lanjutan dari cerita ini |
Sumber: https://twitter.com/bemb_beng |
Seakan ada yang mengganjal pikiran. Seusai tamu pulang, bapak kembali merenung dan menimbang nasib putri sulungnya. Beliau memikir baik buruknya keputusan menyanggupi nikah yang hanya sah menurut hukum agama. Seakan tak sanggup untuk memikirkannya sendiri, bapak memanggil ibu yang saat itu sedang membuat opor untuk menu makan malam.
Tak seperti layaknya seorang ibu kebanyakan, yang memiliki pikiran lembut dan seakan mempersilahkan anaknya memilih jalan hidup. Saat diajak diskusi ibu malah terkesan mengekang Nila. Entah ibu memiliki pola pikir tersebut karena ada perasaan yang tak nyaman seperti bapak atau malah termakan pandangan progresif yang tak jarang beliau terima di grup WhatsApp PKK.
Ibu memiliki pandangan bahwa wanita selayaknya diperlakukan sebagai makhluk yang mulia. Tidak semata di mata agama saja, namun di mata hukum yang sah di negara. Perempuan paruh baya tersebut memang bukan lulusan pondok pesantren atau bergelar sarjana. Hanya ibu rumah tangga lulusan SMP saja. Tapi jika dipikir-pikir memang benar opininya.
Seakan menemukan koalisi dalam memperkuat pendapatnya, bapak kini sudah mantap untuk menolak Nila menikah secara siri. Meskipun dalam hukum agama diperbolehkan, namun seperti yang ibu katakan, nikah tanpa sepengetahuan KUA sangat lemah di mata hukum negara. Tak hanya itu, bila sewaktu-waktu melahirkan, maka anak Nila seakan menjadi anak tanpa ayah.
Saat makan malam pun pendapat itu bapak utarakan kepada Nila. Seakan bermain Uno Stacko, bapak menata tutur katanya agar hati anak sulungnya tidak goyah dan kemudian roboh atau bahkan pecah. Namun apa bisa dikata, sepandai apapun bapak mengucapkannya, keputusan pahit adalah keputusan pahit. Nila seakan dicekoki untuk menelan keputusan itu bulat-bulat tanpa ada tapi.
***
Sudah lebih dari satu minggu semenjak bapak menyatakan tidak boleh kawin siri dengan habib, Nila jarang keluar kamar. Hari-harinya dihabiskan untuk menangis di dalam kamar, sesekali keluar untuk sekedar makan dan minum. Tapi tidak seperti biasanya yang setiap makan pasti bersama bapak, ibu, dan Lina.
Sejurus dengan Nila, Habib Turmudzi pun juga menghilang bak ditelan bumi. Memang saat itu Habib tidak diberikan kabar secara langsung atas ketidaksetujuan bapak, melainkan bapak menyuruh Nila mengabarkan berita tersebut.
Seakan terkurung dengan kemurungan yang tak berkesudahan, Nila berusaha untuk menerima takdir namun tak kuasa ada bulir air mata yang mengalir.
Seakan mengurai air mata yang tidak pernah keluar semenjak bertahun-tahun lalu, saat Hendri memilih untuk meninggalkannya. Namun saat itu dia hanya menangis tiga hari saja. Sangat berbeda dengan uraian bulir bak mutiara yang saat ini. Dulu hanya cinta monyet yang tak dinaungi niat untuk memadu kasih di dalam bahtera rumah tangga. Dulu hanya menangis dan masih berkabar dengan kawan-kawannya, meskipun hanya melalui update status via media sosial.
Kini jangankan membuka media sosial, hp saja terakhir ia pegang saat menelpon habib untuk mengabarkan keputusan Bapak. Mungkin bekas air mata yang menempel di layar 4 inch tersebut masih ada. Barang yang semula menjadi corong dakwah bagi dia, kini hanya seperti barang rongsokan tak terpakai yang tergeletak di sudut kamar.
***
Bapak mulai khawatir akan nasib anak sulungnya yang dari kemarin hanya menangis saja. Meskipun sangat mustahil untuk menyakiti diri sendiri, aksi bungkam Nila perlahan tetap membuat sang ayah khawatir. Gamang bercampur merasa bersalah membuat beliau sangat ingin merevisi keputusan yang sudah beliau keluarkan. Meskipun terkesan menjilat ludah sendiri, tapi apa mau dikata bila itu adalah jalan terbaik.
Sama dengan Bapak, Ibu juga mulai merasa keputusannya yang berlandaskan share info dari grup WhatsApp PKK tersebut adalah salah. Padahal Nila sudah memberikan dasar hukum yang sangat sesuai agama, namun Ibu malah tak menggubrisnya dan berkelok ke pendapat yang tak jelas alur informasinya. Seakan menyalahkan informasi yang datang dari antah berantah, ibu mulai memikirkan untuk merevisi pendapatnya.
Naluri sebagai orang tua rasanya sudah meluluh lantakkan objektivitas dalam menentukan nasib Nila. Kerangka berpikir yang beberapa hari mereka bangun, kini sudah dirobohkan sendiri. Bapak dan Ibu seakan siap untuk menerima pernikahan Nila dengan Habib secara siri. Nila pun dipanggil dari kamarnya. Untuk memberikan berbagai revisi keputusan.
Bak tuntutan demonstan yang dikabulkan, Nila girang tak karuan. Ruang tamu yang sebelumnya diliputi ketegangan kini berganti dengan kebahagiaan. Aliran kebahagiaan itu tak berhenti sampai disana, bergegas Nila menuju kamarnya dan menyalakan telepon genggamnya. Setelah menunggu berbagai aliran informasi yang masuk, karena beberapa hari ia tidak menyalakan hpnya. Setelah 5 menit menunggu, ia tidak menghubungi siapa-siapa melainkan Habib Turmudzi.
Cerita selanjutnya klik di sini
Cerita selanjutnya klik di sini
0 comments:
Post a Comment