Kelakuan Kaum Menengah Perkotaan
Infographic vector created by freepik |
Beberapa hari yang lalu muncul istilah SJW, yang memiliki kepanjangan Social Justice Warrior. Istilah ini disematkan kepada mereka yang selalu menyalahkan hal yang menurut orang kebanyakan tidak terlalu penting. Contohnya meminum air dengan sedotan, mengusir hewan (terlebih kucing dan anjing), dan hal-hal lain.
Kelakuan kaum menengah di perkotaan memang sangatlah aneh menurut saya. Bukan karena keinginannya yang dapat dipastikan sangat baik dan bermanfaat. Tapi caranya yang sok benar itu lho, sangat masa alah. Kemarin sempat ramai di Twitter, seorang kaum menengah perkotaan memberikan rating bintang tiga hanya karena pesan minum tidak dengan sedotan tapi dikirim lengkap dengan sedotan. Sangat rumpi dan rempong tentunya.
Sifat sok care dengan cara menyalahkan yang lain ini lah menurut saya menyebalkan. Lha bagaimana ceritanya care dengan inovasi go green tapi mengesampingkan kepentingan sesama. Kenapa sedotannya itu tidak dikembalikan saja ke pemilik warung dengan membayar lebih sang driver ojek daring. Tujuan tercapai tuntas dan ada sedikit kelebihan harta yang tersalurkan.
Sejalan dengan keanehan kaum menengah perkotaan ini lah yang membuat kita yang terbiasa menganggap enteng hal remeh menjadi menganggap rumit hal remeh. Bila dihitung-hitung lebih go green masyarakat desa yang masih membungkus sayurannya dengan kertas bekas buku. Membungkus gorengan dengan kertas buku pelajaran yang kata kaum menengah perkotaan tintanya dapat menyebabkan kanker. Ini sudah terlaksana sangat lama sampai pada kaum sok benar ini muncul ke permukaan.
Rasa jengkel saya pun tidak hanya sampai di dunia online saja. Saat saya jalan-jalan dengan teman saya dan memakai noken, ada kaum menengah perkotaan yang menyebut saya hanya peduli pada keunikan tradisinya saja. Menurut dia harusnya peduli dengan keseluruhan pembuat produk, mulai dari kesejahteraan sampai kesehatan. Dia memakai istilah bahasa indonesia yang bercampur inggris (keminggris) untuk menyatakannya. Perdebatan pun muncul antar teman saya, ada sanggahan bahwa hal itu hanya berlaku di Amerika.
Tradisi nyinyir orang lain khas ibukota tanpa tahu akar masalahnya ini sekali lagi sangat meresahkan. Bagi mereka yang belum pernah ke papua dan menyalahkan saya yang membeli noken itu sangatlah lucu. Bagaimana tidak? Mereka tidak pernah ke papua kok, ya secara egois dapat dikatakan kontribusi saya ke papua lebih banyak dari pada mereka yang hanya memperdebatkan. Saya sudah membeli noken sebagai kontribusi, sedangkan mereka? Pergi saja belum pernah apa lagi berkontribusi.
Sama halnya dengan nyinyiran tradisi adat yang menurut kaum menengah Jakarta ini merusak hutan. Bayangkan, dengan sok taunya dan bermodal omongan jorok khas perkotaan mereka mengoreksi tradisi yang sudah bertahan berpuluh-puluh tahun lamanya. Tentunya bukan dengan mempelajari akar masalah yang lebih mendalam dan langsung berkunjung. Hanya berbekal berita dari berbagai media mereka seakan menjadi yang maha benar. Padahal tradisi pastinya sudah ada alasannya, bukan semena-mena seperti kaum kapitalis Jakarta yang memeras keringat saat bekerja.
Lantas saya sampai pada kesimpulan, layakkah tradisi kurang piknik khas perkotaan ini diteruskan? Koreksi sana sini hanya untuk membendung opini, lalu pergi setelah tren tersebut menghilang. Bila saya simpulkan sendiri, perilaku seperti ini mirip mahasiswa KKN yang masuk desa dan seakan menjadi bos dalam sebuah proyek. Tanpa guyub rukun mendengarkan warga langsung perintah sana perintah sini seakan tuan muda. Adat ketimuran hilang seketika, tergantikan adat penjajah yang dapat dikatakan keminggris.
Mereka bukan SJW tepatnya, tapi KW alias keyboard warrior. Hanya di medsos, gak paham realita, minim tenggang rasa.
ReplyDeleteIstilah yang sangat menohok. Wkwkwk
Delete