Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Thursday, 6 June 2019

Pegang Tangan Ala Papua


Ilustrasi Tempel Tangan (Sumber: GARDA BESI)

"Assalamualakoooommm", pagi ini saya dikagetkan dengan tamu. Karena posisi saya hanya sebagai penjaga rumah saja, otomatis saya panik tak karuan. Selain panik karena saya pasti bingung mau ngajak ngobrol tamu tentang apa, juga panik karena tidak ada suguhan apapun yang saya siapkan. Suguhan sengaja tidak dibeli karena anggaran menipis dan juga prediksi saya tidak mungkin ada tamu.
Ternyata setelah saya memberanikan diri membuka pintu rumah, sudah ada dua orang anak asli papua (dan saya yakin mereka non muslim) berkunjung untuk sekedar pegang tangan. Tradisi pegang tangan ini sepertinya sudah mengakar di sini. Saya pertama mendengar istilah ini dari kawan kuliah yang pernah tinggal di papua.
Pegang tangan ini bukan hanya sekedar bersalaman lalu mengucapkan selamat, tapi juga memiliki nilai budaya yang menurut saya dapat mengangkat sekat-sekat keagamaan. Ditambah lagi status muslim di Manokwari ini sebagai minoritas, jadi dapat disimpulkan keakraban umat beragama di kota injil ini bukan hal baru.
Buat pembaca yang berasal dari jawa, pegang tangan ini statusnya bisa disamakan dengan galak gampil. Yaitu tradisi dimana anak-anak kecil masuk ke rumah orang yang tidak dikenal saat hari raya idul fitri. Masuk ke rumah-rumah orang seperti ini merupakan tradisi yang dulu bisa dikatakan penyangga hari raya tetap ramai. Bahkan dulu teman SMP saya pernah galak gampil sampai ke kecamatan sebelah, sangking bersemangatnya.
Seperti halnya galak gampil, tradisi pegang tangan ini dilakukan oleh sekelompok orang. Jadi sangat mustahil dan jarang bila orang pegang tangan hanya sendirian, mungkin mentalnya akan nge-down untuk langsung sok kenal sok dekat dengan pemilik rumah.
Bedanya hanya di perolehan barangnya saja. Bila galak gampil di jawa sang pemilik rumah akan memberi uang baru, kalau tempel tangan ini pemilik rumah hanya memberi kue atau minuman yang dibungkus plastik. Mirip bingkisan yang biasa diberikan ke anak-anak setelah menghadiri acara ulang tahun. Lengkap dengan plastik bungkus bergambar dan kawat di atas untuk mengunci plastik agar tidak terbuka.
Meskipun ada saja orang yang tidak setuju dengan tradisi ini, saya kira lumrah. Tradisi saling berbagi akan ada pihak lain yang mengatakan ini tradisi buruk. Salah satu sebabnya kemarin saya baca karena ini membiasakan mengemis. Perlahan-lahan bila tradisi jalan-jalan ke orang yang tidak kita kenal ini punah, lebaran rasanya akan sangat cepat berlalu. Yang biasanya H+3 masih ada anak-anak kecil yang masih berkeliaran, kini pasti maksimal H+2 saja ada anak kecil berkeliaran, ya karena hanya berkunjung kepada orang yang dikenal.
Perlahan-lahan lebaran kita akan seperti pasar yang semakin lama semakin sempit keramaiannya. Kalau pasar digantikan dengan supermarket yang lebih rapi, lebaran tergantikan dengan acara keluarga ke pantai atau di rumah bermain HP. Semoga hal itu tidak terjadi.

0 comments:

Post a Comment