Lebaran Tanpa Mudik
Akhirnya idul fitri datang, namun saya harus merayakannya jauh dari kampung halaman. Namun tetap ada sisi positif dan negatif bila merayakan lebaran tanpa ada kata mudik, alias saya berlebaran di Manokwari. Mungkin dua sisi tersebut dapat saya rangkum menjadi tiga kalimat yang dapat mewakili. Berikut ketiga kalimat tersebut.
Masjid Kampung Bugis di Manokwari |
Banyak yang Menangis Saat Sholat Id
Mungkin karena di Manokwari ini mayoritas penduduk asli beragama nasrani, jadi muslimnya otomatis pendatang. Ini berarti yang merayakan lebaran di Manokwari mayoritas mereka yang gagal mudik. Dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi tentunya.
Maka tak ayal ada air mata yang tak sengaja mengalir saat lafadz takbir terucap sebelum sholat dimulai. Bahkan bapak di depan saya saat ceramah setelah sholat masih merah matanya. Entah karena mengantuk atau masih menangis setelah sholat id. Tapi saya yakin bapak ini habis menangis, karena masih terdengar suara sentrap-sentrupnya ingus saat mata beliau masih merah.
Satu Rumah Sama Dengan Satu Piring
Setelah sholat idul fitri saya langsung melanjutkan silaturahmi ke tetangga. Mumpung ada remaja masjid yang mengajak berkunjung ke tetangga, saya ikut saja. Di rumah pertama saya mendapat semangkuk bakso, pikir saya lumayan untuk sarapan. Karena tidak biasa sarapan saya pun mengambil secukupnya saja, tidak banyak pun juga tidak sedikit.
Pindah rumah sang tuan rumah pun langsung mengisyaratkan untuk langsung ke belakang. Saya kira diajak ngobrol ke belakang, ternyata langsung disuruh makan. Dan hal ini berulang hingga rumah kelima, karena perut saya sudah penuh saya mengajak rombongan untuk langsung pamit. Setelah keluar rumah kami diteriaki gara-gara tidak makan. Ya terpaksa kita sudah bersalaman harus masuk lagi dan mengambil piring. Rupanya di sini wajib untuk makan setiap berkunjung.
Pegang Tangan Khas Papua
Hari raya rupanya tidak hanya untuk umat muslim saja. Bagi orang asli papua yang non islam juga ikut merayakan, istilah lokalnya pegang tangan. Biasanya mereka berkunjung ke tetangga yang muslim saat hari raya pertama dan kedua. Seperti yang saya ceritakan pada tulisan ini, ini merupakan tradisi lokal yang sama seperti tempat lain di Indonesia.
Mungkin ketiga hal ini dapat menjelaskan bagaimana serunya melewatkan lebaran di Manokwari. Haru bercampur seru sudah beradu dan beraduk menjadi satu. Rasanya bagi pembaca yang ingin mencoba sensasinya sudah sedikit tergambarkan. Jadi apakah anda berani mencoba?
0 comments:
Post a Comment