Pemilu Pilu
Jari ungu pilunya pemiku |
Pemilu kali ini berjalan tanpa ibuk. Ya beberapa hari yang lalu ibuku meninggal dunia, yang menjadi sebab kepulanganku ke jawa. Meskipun terlambat satu hari --karena harus meminjam sana-sini-- aku bersyukur dapat pulang dan ikut tahlil hingga 7 hari.
Ku hanya menemui pusaranya yang bertanah merah, khas tanah urug baru dengan nisan putihnya. Pertama keluar mobil travel yang ku pikirkan adalah menuju pemakaman dimana ibu dipendam. Bertemu ibu berbatas tanah makam berkedalaman 2 meter.
Memang mustahil melihat perotnya bibir ibu karena stroke, apalagi mendengar titahnya yang mayoritas orang tidak mengerti itu. Hanya dapat berkomunikasi melalui tangis dan doa. Entah mengapa saat itu luapan emosiku susah terkendali.
Hari ini pemilu yang termasuk pilu. Bagi aku, keempat kakakku dan bapakku yang kerap menangis saat sumpah KPPS sebelum pemilu pasti akan menjadi pemilu yang pilu. Entah mengapa bapak seakan menyakralkan sumpah KPPS di tiap-tiap pemilu yang bertempat di rumahku. Beliau menyumpah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) bukan karena pemuka agama. Namun kewajibannya sebagai ketua KPPS.
Mulai orde baru pemilu terselenggara di rumah ketuanya bapakku. Ya, mungkin mulai aku lahir pemilu sudah diadakan di rumah. Karena seingatku tiap ada pemilu di rumah ya pasti di rumah. Mungkin bapak terlalu sosialis dan mengikhlaskan rumah sebagai Tempat Pemungutan Suara di tiap pemilu.
Pemilu pilu ini terlebih pada diriku, yang beberapa hari lalu sudah berencana ikut pemilu di tanah rantau malah sekarang pulang. Sedang galau pastinya, tapi urusan coblos mencoblos saya memilih pasrah ke bapak. Beliau urus sana urus sini, konsul sana konsul sini dan nama saya sudah bisa masuk daftar pemilih di tempat saya. Kepiluan tak sebatas berhenti di pemilu tanpa ibu, namaku yang sudah masuk daftar, tapi juga kebingungan dalam memilih calon legislatif.
Untuk presiden saya sudah mantap untuk tidak memilih, tapi tetap masuk bilik suara dengan catatan. Ini yang sama sekali belum pernah saya lakukan pada pilpres sebelumnya. Ya, membuat contekan agar tidak salah pilih karena hari-hari sebelumnya saya sudah riset pilihan yang memang sesuai.
Melalui kanal jariungu.com saya mencoba memilih dan memilah ribuan calon legislatif yang sesuai dengan keinginan. Susah pastinya mempelajari satu-satu dengan teliti dan mencoba komparasi data dengan caleg mantan koruptor. Dan berakhir pada pilihan berdasarkan alamat rumah terdekat dan pengalaman organisasi sang caleg.
Visi-misi pun saya abaikan, karena menurut saya kenapa harus melihat visi dan misi yang sesuai? Lha wong legislatif ini kan kebijakan yang dilahirkan berdasarkan musyawarah. Visi-misi mereka kuat dan sesuai pun akan musnah tergilas visi-misi fraksi ataupun partai. Terlebih jumlah kursi yang ada di dalam kantor dewan menjadi prioritas pengambilan keputusan.
Paling mudah dan efektif menurut saya ya lihat domisili rumahnya saja. Karena domisili ini secara insting manusia pasti dibela mati-matian. Seumpama ada kebijakan yang merugikan tempat domisilinya, meskipun caleg ini rapatnya di Jakarta pasti akan membela tempat domisilinya. Di tempat domisili bisa jadi ada aset atau keluarganya yang lagi-lagi secara manusiawi harus dibela.
Variabel kedua yang bisa dipertimbangkan adalah rekam jejak organisasi. Mungkin data ini hanya jariungu saja yang memiliki, karena website lain jarang menginformasikan hal ini. Dari rekam jejak organisasi ini bisa melihat bagaimana pengalaman caleg dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan negosiasi ala organisatoris pasti dimiliki bila caleg memiliki rekam jejak organisasi.
Memang kita hanya bisa memilih sejauh itu saja, untuk masa bertugas 5 tahunan sepertinya akan sangat mustahil bisa memantau dan mengganti bila mereka melakukan kesalahan. Memang untuk mencari orang baik kita hanya bisa belajar tentang sejarahnya saja. Meskipun masih belum ada korelasi antara sejarah seseorang dan masa depan seseorang. Selamat memilih.
0 comments:
Post a Comment