Hitam Putih Kehidupan di Papua
“Hidup di Papua itu keras, apalagi kalau sama masyarakat (orang asli papua)”, kalimat ini adalah kalimat wejangan pertama yang saya dapat dari Mas Tomo. Meskipun sebelumnya saya dijemput dan diantar oleh Yames (kawan saya asli Papua), saya tetap memanggutkan kepala saja tanda mengerti.
Papua Tempat Tinggal Baru
Kali ini kedatangan saya ke Manokwari tidak secepat di Sorong yang hanya numpang tidur di pesawat saja. Saya datang ke Manokwari untuk menjadi tempat tinggal baru saya. Setelah beberapa tahun di Jawa, beberapa bulan di Makassar dan hampir 2 tahun di Balikpapan.
Seakan menjadi nomaden traveler saya tetap memiliki niat hanya berjalan-jalan, namun berkonsep nomadic. Seperti pada diary sebelumnya, saya hanya mengikuti kehendak orang tua.
Ya, bila orang normal pasti memaknai ke Manokwari untuk menjadi PNS. Tapi karena saya mungkin kurang normal maka dua alasan tersebut saya kedepankan, bukan hanya di artikel ini namun di dunia nyata pun juga seperti itu.
Awal kedatangan saya memenuhi pemberkasan PNS ke Universitas Papua, kabar burungnya panggilan PNS ini akan saya terima pada bulan maret. Dan untuk menghemat modal saya menginap di rumah tetangga saya yang juga mengadu nasib di sini, namanya mas Tomo yang saya ceritakan di awal.
Bekerja Sembari Menunggu
Hanya seminggu saya tinggal di rumah mas Tomo, lalu saya direkomendasikan untuk ikut rekannya sebagai assisten service AC. Hingga tulisan ini dibuat saya masih ikut kawan mas Tomo bernama bang Amek. Seorang Aceh yang sudah mulai 2005 pindah ke Manokwari.
Banyak hal unik terjadi saat saya bekerja sambil menunggu SK CPNS turun ini. Salah satu hal unik adalah kerasnya kota Manokwari seakan saya rasakan langsung. Jadi saya bekerjanya di jalan, ketika bos ada panggilan kerja saya dan bos berangkat ke rumah pelanggan. Entah itu cuci AC, pindah AC ataupun service AC. Semua tools wajib dibawa, lengkap mulai pompa air untuk cuci AC sampai tangga.
Apalagi jarak rumah bos ke kota sekitar 12 kilometer. Jarak ini ditempuh dua kali pulang-pergi, karena anak bos sekolah di kota dan harus mengantar dan menjemput. Kembali lagi ke kerjaan saya, jadi pekerjaan saya selalu bersinggungan dengan masyarakat atau pun pendatang. Sangat cocok sebenarnya untuk adaptasi sebelum saya bekerja.
Hampir Kecopetan Di Papua
Ada sebuah kasus yang membuat saya shock. Ketika saya hampir saja kehilangan telepon genggam. Ceritanya saya sedang menunggu bos masuk ATM. Sebetulnya sama Mas Tomo sudah mengingatkan untuk tidak bermain HP dipinggir jalan. Saya tetap memainkan HP sembari menunggu di pinggir jalan.
Tiba-tiba dari belakang langsung ada remaja usia belasan yang mencoba mengambil HP yang saya genggam. Namun syukurnya gagal, dan pencopet tersebut tersenyum dengan bibir yang merah tanda telah mengunyah pinang lalu memukul dengan keras bahu saya. Saya pun lari menuju ATM, dan mereka pun kabur.
Mungkin dari hal ini dapat diambil pelajaran, bukan tentang urusan yang harus diperpanjang, namun ada nyawa yang harus diselamatkan. Karena ada dendam dari mereka yang merasa pribumi. Jadi ada cerita bahwa meskipun kita benar dan mereka salah, tetap kita sebagai pendatang akan salah.
Mungkin ungkapan ini harus diuji lebih mendalam lagi, apakah mereka sebagai pribumi merasa seperti masyarakat indonesia saat penjajahan belanda dan menganggap pendatang seperti penjajah. Memang setelah beberapa minggu di sini ada kasta seperti itu, mungkin ini dapat dilihat dan diteliti lebih mendalam saat sudah menatap lebih lama lagi di sini. Semoga saja dapat melihat dalam sudut pandang yang netral.
0 comments:
Post a Comment