Menyikapi Pergeseran Nilai Sebuah Kata
Entah mengapa tiba-tiba ada keresahan mendalam dari pergeseran nilai bahasa dan penyebutan. Ini dimulai ketika saya melihat poster lomba misuh yang disebarkan oleh beberapa teman saya. Sedikit mundur kebelakang rasanya keresahan saya bukan hanya karena “membaiknya” kalimat umpatan. Ada banyak yang bergeser seperti dalam panggilan Mbak. Dalam beberapa kesempatan saya melihat panggilan mbak tersebut sebagai kata ganti pembantu rumah tangga.
Contohnya di sebuah video yang diunggah Raditya Dika, dia menyebut “Mbak Gue” sebagai kata ganti pembantu. Ya memang tak berhak juga untuk mengoreksi, mungkin kultur yang dia jalani di sana sudah terbentuk. Namun bergesernya kalimat mbak seperti ini memang bukan barang baru, bila belajar bahasa indonesia pergeseran ini disebut peyorasi. Tapi meskipun bukan barang baru peyorasi yang masih belum terlihat paripurna ini dapat mengganggu penggunaan saat di luar Jakarta tentunya.
Betapa lucunya bila seorang Raditya Dika saat ke Jawa Tengah bilang bahwa “ini mbak saya” (sembari menunjuk seorang pembantu rumah tangga). Pasti orang yang diajak ngobrol akan menganggap pembantu tersebut adalah kakak perempuan si Radit.
Lain halnya bila kalimat pisuhan, akhir-akhir ini mulai mengalami pergeseran makna menjadi baik. Bayangkan, kalimat yang dahulu pernah membuat saya puasa 3 hari gara-gara mengucapkannya, sekarang malah diperlombakan. Mungkin memang masih ada dendam karena peristiwa tersebut. Tapi apakah pantas? Bila seorang anak misuh ke bapaknya?
Pergeseran makna ini layaknya pergeseran lempeng bumi. Pasti ada yang naik dan juga ada yang turun. Sebetulnya pelayakan kalimat umpatan ini merupakan ide gila seorang Sujiwo Tedjo. Dengan mengatasnamakan presiden Jancuker mulai ada yang menganggap umpatan jancok adalah hal yang lumrah.
Padahal di sisi lain masih ada yang khawatir dan ketar-ketir bila kalimat tersebut diucapkan keturunannya. Ada yang ngomong hal itu merupakan bagian dari keakraban, tapi ada pula seorang anak yang dihajar ayahnya hingga mulutnya tak bisa memakan sesuatu hingga 3 hari lamanya. Keduanya sama-sama terjadi di Jawa Timur.
Bonek dan Aremania pun pisuh-pisuh an dalam setiap lagunya bukan karena mereka selayaknya kawan karib. Tapi karena mengumpat dan memang ada dendam yang tercurahkan ketika kalimat umpatan tersebut sudah keluar. Apalagi umpatan tersebut terselip dalam sebuah lagi dan dinyanyikannya secara ramai-ramai.
Jadi pergeseran tersebut tidak lantas berlaku secara nasional. Seumpama bilang Mbak di Jakarta dan di Jogjakarta pasti akan bermakna lain. Bilang Asu di Jawa Tengah pasti akan terjadi keributan, tapi bilang Asu di Jawa Timur meskipun dengan cara meledak-ledak pasti akan ditertawakan.
Mungkin kultur tetap akan menjadi kultur, memang sebagian orang menganggap dapat ditoleransi tapi sebagian lainnya memilih untuk intoleran. Bukankah yang primitif dan terjaga dengan baik akan terlihat unik, ya seperti primitifnya suku Tengger yang bersarung, suku Baduy yang menolak teknologi.
0 comments:
Post a Comment