Belajar Hidup dengan Rp.50.000
Pict by : Irene Radjiman |
Mbah Jum adalah manusia buta yang dengan ikhlas mengamalkan amalan sunah dengan istiqomah. Saat sholat jum’at kemarin saya mendengar cerita ini, diceritakan langsung oleh khatib dan diperdengarkan oleh banyak orang di Masjid Baiturrahman, Kepanjen, Malang.
Mbah Jum berprofesi sebagai penjual tempe di pasar. Beliau merawat keempat cucunya sendiri, dengan bermodalkan uang lima puluh ribu perhari beliau sukses memberikan pendidikan agama yang baik. Buktinya dari keempat cucu tersebut semuanya sudah pernah mengkhatamkan Al-quran. Meskipun beliau buta sedari kecil namun amalan-amalan sunah tak pernah ketinggalan.
Setiap harinya durasi jualan tempe beliau hanya dua jam, tak pernah lebih dari dua jam. Menurut cucu terbesarnya yang biasa mengantar beliau ke pasar. Mbah Jum saat menunggu dagangannya pasti bersholawat secara perlahan, disaat pedagang lain menggunjing atau berbicara dengan pedagang lain, Mbah Jum tetap bersholawat.
Cara pelayanan beliau sangat mirip seperti kantin kejujuran. Karena mata beliau tak dapat melihat, setiap pembeli yang datang dipersilahkan untuk membayar sendiri dan mengambil kembaliannya sendiri. Bila dipikir secara logika, pasti si mbah yang menurut khatib berdomisili di Jogja ini akan merugi. Karena faktor kecurangan sangat mudah terjadi.
Saat pulangnya lagi-lagi beliau memilih untuk merugi karena Allah. Ketika hasil penjualannya lebih dari lima puluh ribu pasti akan disumbangkan untuk masjid. Karena modal untuk membuat tempe hanya dua puluh ribu sedangkan harga yang pantas untuk tempe dagangannya hanya senilai lima puluh ribu. Selebihnya pasti rizki yang diberikan tuhan, maka dari itu beliau kembalikan ke rumah tuhan (Baitullah).
Dengan pola pencarian rizki seperti itu Mbah Jum merasakan kedamaian, ketenangan dan keikhlasan dalam menjalani hidup. Sehingga tak ada masalah yang besar bagi beliau, meskipun tak dapat melihat beliau tetap dapat mendidik cucunya dengan baik. Hanya dengan modal lima puluh ribu dari hasil penjualan tempe, tidak lebih.
0 comments:
Post a Comment