Ujung Masalah Dunia Pendidikan Negeri Ini
Rentetan kasus pendidikan yang menimpa negeri ini bertubi-tubi tak pernah terhenti, seakan malah menambah panjang daftar kasus yang berimbas pada keluhan para wali ataupun muridnya. Akhir-akhir ini berhembus kabar bahwa warga Malang ramai-ramai mengaku tidak mampu.
Tentunya untuk menunjang pengakuan tidak mampu tersebut, harus ditunjang dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Bapak saya yang seorang RW jadi lebih sibuk dari biasanya, tentunya dengan “menutup mata” beliau berani membubuhkan tanda tangan sebagai pengakuan bahwa orang tersebut tidak mampu.
Usut punya usut ternyata SKTM tersebut untuk modal menawar uang masuk sekolah yang terlampau tinggi. Bukan hanya terlampau tinggi saja, uang masuk yang melebihi separuh UMR itu juga dapat dikatakan tidak masuk akal.
Bayangkan saja UMR yang harusnya bisa untuk menabung, mencukupi sandang, pangan anak istri, malah harus digunakan untuk membayar uang masuk sekolah. Hanya uang masuk sekolah saja lho ya, tidak ada jaminan uang kembali bila anak tidak menyerap pelajaran dengan baik.
Analogi di atas hanya diperuntukkan mereka yang gajiannya di atas UMR. Pasalnya di Malang sendiri atau lebih khusus di Kepanjen, sangat jarang orang kerja bayarannya UMR. Karena memang usahanya kecil-kecil, bila minta gaji UMR ya jelas gak nutut (gak cukup).
Kembali pada pendidikan yang sangat mahal. seakan menjadi benang kusut, ongkos pendidikan yang sudah bisa digunakan untuk mendirikan usaha online sejenis mojok ini bila diteliti lebih mendalam seakan tidak ada penyelesaian.
Mungkin penyelesaian sementara seperti yang digagas oleh grup FB Arek Kepanjen masih bisa dilakukan. Tapi itu hanya penyelesaian sementara, padahal pada tahun 2016 ngurus-nya sampai DPRD Kab. Malang. Nyatanya hasil yang dituai pun hanya bertahan setahun saja. Tahun 2017 tetap banyak yang tercekik lagi, lagi, dan lagi.
Diusut ke pihak sekolah pun pasti guru-guru juga pada kebingungan. Kebingungan tersebut ditengarai beban yang tak kunjung habis dalam penyusunan bahan ajar, sampai pada gaji yang hanya di bawah UMR. Lah gaji gurunya saja di bawah UMR kok, gimana kabar guru yang pingin menyekolahkan anaknya? Karena ongkos masuknya setengah UMR. Pasti kandas di belantika ranah pendidikan yang kian keras ini.
Mungkin inti dari permasalahan ini adalah tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran pihak sekolah. Bayangkan saja pemasukan yang berasal dari uang gedung dan SPP (uang seragam dan buku sengaja saya coret) sudah sangat mahal. Tapi kemakmuran guru hanya sebatas wacana. Ini bermakna, pemasukan sekolah sangat besar tapi pengeluarannya sangat irit.
Oke saya jlentreh-kan biar logika ini menjadi sedikit masuk akal. Katakanlah uang masuk sekolah non seragam dan buku adalah 1,5 juta rupiah. Uang sebesar ini bila dikumpulkan dari siswa satu kelas yang biasanya berisi 30 orang ketemu angka 45 juta rupiah. Itu hanya uang gedung saja.
Lain halnya dengan SPP yang wajib dibayarkan satu bulan sekali. Rata-rata SPP senilai 100 ribu rupiah. Kembali pada logika satu kelas berisi 30 orang, lagi-lagi saya pastikan akan ketemu angka yang fantastis. Lebih dari cukup untuk membayar iuran wajib seperti iuran sampah, listrik dan air. Bila pembaca komen “ah ongkos pulpen, kertas, dan bahan ajar lainnya gak kehitung”, saya bisa katakan hal itu dapat diperoleh dari belanja tahunan dimana pasti memakai anggaran uang gedung.
Bila dari sisi guru honorer pastilah akan serasa keadilan di negeri ini masih ngeri. Pasti sangat tidak mungkin bila sebuah sekolah yang menerima siswa baru sejumlah 30 saja. Dari pendapatan sekolah yang terlampau tinggi ada gaji yang terlampau kurang layak. Lalu kemanakah uang sisanya?
Sebaiknya hal ini yang patut untuk diperhatikan dan menjadi pekerjaan rumah bersama. Dari sisi guru, wali dan juga komite. Sangat menjadi kesalahan bila sekolah mengendapkan pendapatan, karena pasti akan yang dikorbankan. Siapa lagi korbannya kalau bukan guru honorer dan wali murid. Ujungnya pun pasti tertebak, akan ada yang tercekik lagi.
0 comments:
Post a Comment