Romantisme Perjalanan dengan Si Pitung Episode 2
Ditengah perjalanan menuju sidoarjo ya perkiraan di pandaan ada tragedi
yang cukup menarik. Si pitung ini pas sebelum berangkat kan saya servis dulu.
Mulai ganti lampu weser/riting/sen sampai benerin lampu kota yang sudah mulai
meredup. Entah pas waktu benerin itu saya kurang bener pas balikin lampu
kotanya atau memang ada faktor x yang membuat lampu depan si pitung lepas. Pada
waktu tragedi itu berlangsung pas disisi kanan ada bis ngebut lagi. Dan saya
terpaksa mlipir ke kiri otomatis ke aspal yang bergelombang dan jeduak!!!!!
Lampu depan si pitung mulai copot. Dalam hatipun mulai menangis sedih menyesali
apa yang terjadi namun apa daya hal itu sudah terjadi. Menangispun mungkin gak
mungkin ada yang nolong yang ada di ketawain kernet bus yang lewat tadi.
Dan kamipun mulai minggir dengan kondisi lampu depan yang gondal gandul.
Setelah minggir sayapun dengan tanggap dan sigap mengembalikan lampu depan si
pitung setelah lampu sudah kembali lalu saya teringat saya tidak membawa alat
operasi yang berupa kunci, tang dan obeng untuk si pitung. Terpaksa lampu depan
si pitung dikembalikan sekenanya dan dengan langkah tertatih si pitungpun mulai
saya gas menuju bengkel terdekat. Pucuk di cinta ulam pun tiba sekitar 100
meter menuju sidoarjo kami menemukan bengkel tambal ban yang pastinya memiliki
tools yang lumayan lengkap untuk menjalankan operasi pengembalian lampu depan
si pitung yang copot. Setelah sampai sayapun to the point meminjam obeng plus
yang dimiliki bapak tambal ban tersebut.
Dengan lapang dada pemilik tambal ban tersebut meminjamkan alat yang
dimiliki. Sekali lagi dengan sigap dan tegas saya melaksanakan operasi
pengembalian lampu depan si pitung. Okey semua sudah beres dalam waktu 2 menit
dan sipitung sudah tampak seperti semula. Dengan bacaan hamdalah yang disusul
dengan bacaan basmalah saya melanjutkan perjalanan menuju sidoarjo.
Setelah sekitar 2 jam menuju sidoarjo
haripun mulai gelap, perutpun mulai menyanyikan irama bengawan solo dengan
aliran keroncongnya dan kepala pun mulai pusing. Hati besarpun bersepakat
dengan hati kecil untuk mengatakan “sudah lah kita minggir untuk meminum kopi
dan menyantap lalapan”. Tanpa disadari tangan ini menyadari isyarat tersebut
dan membelokkan setir untuk mampir di warung lalapan. Dan santap sore pun
terlaksana.
0 comments:
Post a Comment